Selasa, 18 November 2008

Diakonia Transformatif

DIAKONIA TRANSFORMATIF DAN RESTRUKTURISASI GKJ DAGEN PALUR

(Suatu usaha reaktualisasi dan rekontekstualisasi ajaran cinta kasih Yesus untuk pelayanan GKJ Dagen-Palur memasuki abad XXI)


Pendahuluan
Pemahaman gereja tentang diakonia sangatlah tradisional. Artinya banyak orang Kristen mengerti diakonia hanya seperti yang dilakukan oleh gereja selama ini, secara tradisional. Asal sudah ada diaken yang duduk sebagai majelis dan program kerja yang terus-menerus mengulangi bentuk diakonia yang sudah berlangsung puluhan, bahkan ratusan tahun (seperti jimpitan beras, pakaian pantas pakai, dsb), ya berarti gereja sudah melakukan diakonia. Namun, apakah ini makna diakonia sesungguhnya? Pada tulisan ini, kita akan mempelajari bahwa sebenarnya kita tidak hanya memiliki satu model diakonia gereja. Juga kita akan menyoroti bagaimana diakonia dipahami dalam Perjanjian Lama dan Baru, sehingga gereja dapat menangkap esensi pelayanan tersebut dan mengimplementasikannya secara kontekstual.

Sorotan teologis ini penting sebagai dasar bagi gereja, khususnya GKJ Dagen-Palur, mengapa gereja perlu melakukan bentuk-bentuk pelayanan yang berbeda dengan bentuk diakonia tradisional, dan juga mengapa kita perlu membangun infrastrukturnya (yang tercermin dalam restrukturisasi) untuk menguatkan pelayanan tersebut. Restrukturisasi ini bukan bentuk show of force (alias pamer kekuatan), tetapi Gereja secara sadar melakukan tindakan-tindakan antisipatif untuk menjawab apa yang akan terjadi dalam masyarakat kita pada abad ke-21. Tindakan antisipatif adalah tindakan pendahuluan yang dilakukan sebelum sesuatu terjadi, dan lawannya adalah tindakan reaktif. Yaitu tindakan yang dilakukan terhadap sesuatu sudah dan sedang terjadi. Tindakan antisipatif adalah tindakan seperti pepatah “sedia payung sebelum hujan,” yang berfungsi untuk menyiapkan diri kita untuk melakukan secara efektif dan efisien tugas-tugas pelayanan gereja abad ke-21.

Program-program gereja yang sudah merambah ke aspek-aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial, hukum, politik maupun manajemen harus disiapkan juga wadah organisasinya seperti Komisi Kebijakan Publik dan Lintas SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), Pelayanan Pedesaan dan Perkotaan, Pelayanan Hukum, Hubungan Nasional dan Internasional, Pastoral dan Konseling, Pengembangan Dana Gereja, dsb. Itulah alasannya, mengapa GKJ Dagen-Palur harus melakukan tindakan-tindakan antisipatif dalam bentuk restrukturisasi dan pengembangan potensi wilayah. Semua ini kita bangun dari dasar pemikiran bahwa diakonia gereja harus bergerak dari diakonia karitatif menuju diakonia transformatif.

Supaya kita memiliki pemahaman dan pengalaman bergereja secara kontekstual dan transformatif, maka perlu dirasa oleh Majelis GKJ Dagen-Palur untuk mensosialissi dasar teologis diakonia dan sorotan historis atas praktek diakonia gereja tersebut, sehingga kita dapat menjadi gereja yang tidak anakronistis (bertentangan dengan sejarah atau zaman). Gereja tidak boleh menjadi meseum rohani, tetapi ia adalah salah satu alat yang Allah pakai untuk menyatakan Kabar Keselamatan bagi semua umat manusia.


Diakonia: Pemahaman Dalam Perjanjian Lama Dan Baru

J.C. Sikkel mengatakan bahwa “The church can live without buildings. Without diakonia the church dies.” Secara teologis ini berarti, bahwa diakonia adalah nafas gereja. Ia baru menjadi gereja bila ia melakukan diakonia.
Diakonia berasal dari bahasa Yunani yaitu diakonein. Diakonein berarti “melayani meja”, “melayani kebutuhan-kebutuhan fisik” dan “menyiapkan makanan sebagai korban kepada dewa-dewa.”
Kemudian hari arti diakonein berkembang menjadi melayani dalam arti umum. Diakonia adalah tindakan dari diakonein, sedangkan diakonos adalah orang yang melakukan diakonia.
Dalam konteks sosio-kultural pada waktu itu, fungsi diakonia adalah fungsi yang rendah. Pelayan harus melayani orang lain yang lebih terhormat atau tinggi kedudukannya. Yang dilayani lebih terhormat daripada yang melayani – logis. Pertanyaan yang terpenting adalah, bagaimana seseorang dapat berbahagia dengan melayani orang lain? Mengapa melayani menjadi tugas imperatif (keharusan) bagi orang Kristen?
Di sinilah kita akan menemukan makna baru dari diakonia, yaitu Yesus telah memberi arti teologis pada diakonia. Pernyataan Yesus dalam Yohanes 13:34 – perintah baru untuk mengasihi orang lain seperti Yesus mengasihi kita.
Melalui praksis-Nya -- aksi dan refleksi, Yesus memberi bobot teologis pada fungsi diakonia. Dari perspektif ini, norma utama diakonia Kristen bukanlah pelayanan kita, tetapi pelayanan dan kasih Yesus kepada kita, yang pada akhirnya menjadikan kita subyek yang mampu mengasihi dan melayani orang lain. Tidak ada orang yang dapat mengasihi orang lain, tanpa terlebih dahulu dikasihi. Itulah sebabnya mengapa Yesus meminta para murid-Nya untuk melayani apabila ingin menjadi besar dan terkemuka di antara mereka (Mat. 20:26). Prototype (contoh awal) pelayanan yang sejati adalah Yesus – Allah yang melayani umat manusia. Pelayanan ini bukan supaya manusia menjadi pengemis kasih, tetapi sebaliknya menjadi subyek yang mengasihi.
Itulah sebabnya mengapa istilah diakonein, diakonia dan diakonos sangat sering muncul dalam Perjanjian Baru. Menurut M. Barnett dalam PB kita dapat melihat tiga penggunaan yang berbeda dari istilah tersebut, yaitu:

Istilah tersebut mempunyai arti umum, yaitu pelayanan, tetapi kemudian mempunyai makna khusus ketika Yesus mengidentifikasi bahwa kedatangan-Nya ke bumi sebagai diakonein (=Anak Manusia datang untuk melayani, Mat. 20:26). Sikap ini adalah sangat fundamental yaitu sebagai peringatan melawan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Mempunyai makna khusus, yaitu fungsi atau tugas gereja.
Lebih spesifik dari butir dua adalah pelayanan kepada orang miskin.

Istilah pelayan selalu diwarnai dengan sesuatu seperti dari siapa pelaku menerima mandat atau misinya dan bagaimana pemberi perintah menilai tugasnya sendiri dan tugas pelayannya. Diakonia gereja telah dikehendaki oleh Yesus sendiri, yang kehidupan-Nya telah diwujudkan untuk melayani. Di sini kita lihat filsafat hidup-Nya, yaitu sikap dan aktivitasNya kepada orang-orang kecil yang dengannya Ia mengidentifikasikan diri (Mat. 25). Dalam PL, orang-orang kecil diidentifikasi sebagai orang yang kelaparan, telanjang, asing, tawanan, dsb. yang tidak memiliki basis ekonomi, apalagi politik.
Dalam PL kita melihat bahwa Allah melihat dan mendengar korban perbudakan dan ketidakadilan yang menyebabkan mereka menderita (Kel. 3:7). Melalui keadilan dan kemurahan-Nya Ia memberi pembebasan. Dalam PL, Allah juga adalah agape (kasih yang tidak bersyarat), menderita dengan para korban ketidakadilan. Ia mengutus para nabi untuk berbicara kepada umat (tentang apa yang telah Allah perintahkan kepadanya). Yaitu hanya satu, berbuat adil, setia dan bijaksana di hadapan Allah (Mikha 6:8). Kebenaran (tsedaqah) dalam Torat juga memainkan peranan sentral dalam hukum kasih yang Yesus ajarkan. Dalam hukum kasih (Mat. 22: 37-39), tsedaqah memainkan peranan penting, sehingga hukum kedua tidak melulu melibatkan humanisme atau kasih kepada sesama, tetapi hukum tersebut menuntut suatu kualitas kehidupan dan belas kasih yang membawa kepada shalom (damai sejahtera).
Kita dapat melihat praktek-praktek diakonia dalam PL dan PB, misalnya larangan membebankan bunga kepada fakir miskin (Kel 22: 25). Juga hukum yang melindungi supaya orang tidak menjadi miskin, yaitu peraturan tahun Sabat dan yobel (Imamat 25). Dalam peraturan tersebut jelas kaitan antara norma-norma sosial dan motivasi-motivasi religius saling mendukung untuk mentransformasi struktur sosial-ekonomi masyarakat. Asumsi teologisnya adalah, bahwa Allah adalah Pembebas yang telah membebaskan umat-Nya supaya mereka juga membebaskan sesamanya.
Dalam Yeh. 22: 12 Allah menghukum mereka yang mencatut dan memberi bunga atas pinjaman yang diberikan kepada orang miskin, karena iniberarti penindasa terhadap yang lain untuk kepentingan sendiri dan melupakan Tuhan. Nabi-nabi juga mencela pembagian tanah yang tidak adil, di mana para penguasa merampas tanah rakyat dan mengusir mereka ke perbatasan (Hosea 5:10; bnd. Yes. 5:8).
Kita dapat mencari contoh-contoh lain yang menggambarkan praktek diakonia dalam PL dan PB, seperti perlindungan pada janda dan yatim piatu serta orang asing (Im. 25: 35-55). Peraturan untuk menyisihkan hasil panen, dan tidak disikat habis adalah supaya orang-orang miskin dapat memungutnya (ingat ceritera Boas dan Ruth). Larangan menjual tanah warisan dan peraturan tahun Yobel untuk melindungi orang kehilangan prasyarat untuk hidup. Tanpa tanah manusia tidak akan bisa hidup dengan damai (Im. 25:33-34). Peraturan persembahan perpuluhan yang diberikan untuk Bait Allah, selain untuk mendukung kehidupan para imam atau suku bangsa Lewi, juga untuk menolong orang-orang miskin (Ul. 14:22-29). Begitu juga dalam Kisah rasul diceriterakan para pengikut Kristus menjual tanah dan harta miliknya serta memberinya kepada para Rasul untuk didistribusikan kepada orang-orang yang kekurangan.
Satu hal yang penting yang perlu kita catat adalah, bahwa diakonia telah mempunyai makna teologis yang sangat dalam. Dalam PL tindakan Allah membebaskan umat-Nya yang tertindas adalah tindakan melayani (diakonein), sedangkan dalam PB kedatangan Yesus ke dunia adalah bertujuan untuk melayani (diakonein). Jadi diakonia adalah suatu tindakan yang berorientasi kepada tindakan Allah yang menyelamatkan sehingga manusia akan menemukan kehidupan yang sejati sebagai gambar Allah.
Tentu kita yang hidup dalam zaman moderen ini tidak dapat mengambil alih begitu saja praktek diakonia dalam PL dan PB untuk masa kini. Kita hidup dalam sistem sosio-kultural dan politik serta religius yang berbeda sekali. Itulah sebabnya kita memerlukan suatu metode hermeneutik untuk menjembatani masa lampau dengan sekarang. Misalnya, Yesus dan para pengikut-Nya mula-mula hidup dalam sistem sosial dan politik di mana lembaga pengontrol dan legislatif tidak ada, sehingga penyelenggara negara mempunyai kuasa absolut untuk menentukan segala peraturan. Contoh lain yaitu, bahwa ajaran atau sistem sosial Yesus adalah sosiologi pedesaan dan belum merupakan masyarakat kompleks seperti sekarang.


MODEL-MODEL DIAKONIA

Berdasarkan asumsi teologis di atas, maka diakonia sebenarnya, tidak dimonopoli oleh gereja. Diakonia juga dilakukan oleh lembaga-lembaga lain yang mempunyai motivasi membangun kehidupan manusia yang berbeda secara kualitatif. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Yayasan Yatim Piatu, misalnya adalah salah satu lembaga yang juga menyelenggarakan praktek diakonia kepada masyarakat luas tanpa batas-batas agama, golongan, suku, dsb. Sekalipun praktek diakonia itu dilakukan dengan motivasi religius sebagai panggilan iman untuk mewujudkan dunia yang damai dan sejahtera, bebas kejahatan, penderitaan dan kelaparan – pengharapan kedatangan Kerajaan Allah.
Berdasarkan karakteristik diakonia, maka kita dapat mengenal tiga model diakonia, yaitu: diakonia karitatif, reformatif dan transformatif.

DIAKONIA KARITATIF

Model diakonia ini adalah model yang secara tradisional dilakukan oleh gereja-gereja sampai saat ini juga. Asumsi teologisnya adalah, bahwa gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya mendapat tritugas, yaitu bersekutu (koinonia), bersaksi (kerygma), dan melayani (diakonia). Dari perspektif tradisional ini, persekutuan hanya diartikan sebagai persekutuan orang-orang Kristen (baca: telah dibaptis) atau gereja. Kerygma hanya terutama ditujukan kepada orang-orang yang dianggap kafir (non-Kristen). Sedangkan diakonia dimengerti sebagai tindakan-tindakan amal/ karitatif orang Kristen, baik kepada orang-orang seiman ataupun kafir dengan tujuan percaya kepada Yesus (missionary motive). Walaupun sebenarnya motif seperti ini juga dimiliki oleh kelompok lain, termasuk juga partai politik (political motive).
Pelayanan gereja terutama pada tindakan-tindakan karitatif/ amal. Matius 25: 31-46 dipakai oleh gereja untuk menguraikan bentuk diakonia ini. Sampai sekarang bentuk karitatif sangat populer di kalangan gereja karena mudah dan langsung bisa dirasakan pertolongannya, walaupun tidak mendasar atau memecahkan masalah. Misalnya memberi beras, pakaian pantas pakai, warung nasi murah, uang, dsb.

Ciri-ciri diakonia karitatif adalah sebagai berikut:

Dilakukan tanpa analisa sosial-politik penyebab kemiskinan, atau mengapa penderita mengalami sesuatu .

Bantuan yang diberikan langsung, bisa dirasakan atau diterima oleh si korban. Model bantuan ini tidak dialogis dan malahan menciptakan relasi ketergantungan subyek (pemberi) – obyek (penerima). Paulo Freire mengatakan model ini hanya cocok untuk hewan. Seekor anjing hanya menerima terus makanan dari tuannya, tanpa pernah anjing tersebut menjadi pelaku sejarah (historical subject).

Hanya cocok untuk membantu korban-korban bencana alam tetapi tidak cocok untuk menyelesaikan masalah sosial yang berakar pada sistem dan struktur sosial, misalnya kemiskinan, penindasan, perampasan tanah, dsb.

Model diakonia ini sering didukung penguasa karena mempertahankan status quo atau melanggengkan kekuasaan. Dengan banyak menolong, mereka akan mendapatkan simpati publik dan terlihat kedermawanan si pemberi, bahkan untuk maksud politis (political motive) sering diekspose secara besar-besaran.

Diakonia karitatif sangat gencar dilakukan karena dilakukan dengan maksud-maksud yang sangat sempit, seperti si korban akan pindah agama, mendukung partai, dsb.

Hanya mengandalkan kekuatan moral orang kaya untuk memberikan sebagian kecil miliknya untuk mengurangi kemiskinan, dan tidak menolong orang-orang miskin menyelesaikan masalahnya sendiri. Akhirnya kemiskinan tidak dapat dihindari karena kondisi si miskin yang terbatas.

Model ini sangat berakar dalam pertumbuhan gereja, termasuk masa kini karena model ini sangat mudah dan akibatnya bisa langsung dilihat. Terutama di kota-kota besar, kita dapat melihat bangunan gereja yang sangat megah dan mewah, bahkan menyaingi gedung-gedung moderen, tetapi banyak gereja tersebut yang tidak mempunyai program atau dana sosial (social cost) untuk membantu program pemberantasan kebodohan, kemiskinan, penindasan, pembelaan hukum, dsb.
Analogi model diakonia ini adalah kalau ada orang lapar, berilah roti dan ikan, suruhlah ia memakannya, dan meminta lagi bila sudah habis.


DIAKONIA REFORMATIF ATAU PEMBANGUNAN

Model diakonia ini lebih menekankan pada aspek pembangunan. Pendekatan yang dilakukan adalah (community development) seperti pembangunan pusat kesehatan, penyuluhan, bimas, usaha bersama simpan pinjam, dsb. Kesadaran ini muncul bagi gereja-gereja untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan pada Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia IV di Uppsala, Swedia, 1968. Pada sidang tersebut DGD membentuk suatu komisi yang disebut Commision on Church’s Participation in Development (Komisi Partisipasi Gereja dalam Pembangunan). Pada sidang itu mulai dipikirkan secara serius masalah diskriminasi, ketidakadilan internasional, tugas-tugas politik gereja, pengembangan pendidikan, dsb. Disamping pembinaan spiritual.
Sejak Sidang Raya Dewan Gereja Dunia di Uppsala, diakonia gereja mulai bergeser dari diakonia karitatif ke diakonia reformatif, termasuk gereja-gereja di Indonesia dalam PGI (dh. DGI) dengan didirikannya Darma Cipta (Development Centre) pada Sidang Raya DGI VII di Pematang Siantar, 1971, yang sekarang menjadi Departemen Partisipasi Gereja Dalam Pembangunan (Deparpem). Tentu saja pelayanan reformatif ini membantu masyarakat dalam menaikkan pendapatan (income) termasuk dalam kategori pendapatan perkapita negara di mata Bank Dunia.
Pemerintah di seluruh dunia, terutama di Dunia III mengintrodusir program-program pembangunan yang berorientasi pada model Barat, yaitu pertumbuhan ekonomi dengan titik berat pembangunan teknologi tinggi. Pembangunan industri dengan teknologi canggih, penggunaan pestisida dalam pertanian, bibit-bibit hybrida, dan menciptakan pasar yang berorientasi pada eksport. Akibat dari pembangunanmodel ini, yaitu banyaknya kota-kota moderen, pabrik-pabrik megah, panen yang menumpuk, hotel-hotel mewah, tetapi tidak dimiliki atau dinikmati oleh masyarakat luas. Bahkan pembangunan tersebut hanya menciptakan kemiskinan dan memperluas gap antara yang kaya (pemilik modal) dengan rakyat. Pertanyaan yang muncul adalah, pembangunan untuk apa dan siapa? Apa yang bisa dinikmati rakyat dari pembangunan? Pembangunan hanya menciptakan kemiskinan, sebab masalah ketidakadilan struktural dan sistem ekonomi, politik serta sosial tidak pernah dipersoalkan dan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

Karakteristik-karakteristik diakonia reformatif adalah sebagai berikut:

Model ini lebih berorientasi pada pembangunan-pembangunan lembaga-lembaga formal, tanpa perombakan struktur dan sistem yang ada. Kalau toh ada, itu hanya pergantian pimpinan dan tidak disertai dengan perombakan struktur dan sistem yang ada. Orang-orang yang dekat dengan struktur paling banyak menikmati keuntungan pembangunan, sedangkan mereka yang jauh selalu menjadi korban pembangunan. Pertanyaan pembangunan untuk siapa, milik siapa adalah pertanyaan yang sangat logis.

Model ini sudah menggunakan analisa sosial-kultural tetapi tidak menggunakan analisa struktural. Analisa ini hanya menolong bagaimana proses pembangunan dapat berjalan lancar tanpa mempertanyakan untuk siapa pembangunan itu dilakukan. Akibat lain adalah mengabaikan sumber kemiskinan, yaitu ketidakadilan, akumulasi modal dan kekayaan pada golongan atau pihak elite tertentu.

Pendekatan pelayanan ini masih bersifat top down (dari atas) dan bukan bottom up (dari bawah). Dalam model ini masyarakat belum sepenuhnya menjadi pelaku sejarah yang menentukan masa depannya sendiri, tetapi hanya menjadi partisipan dalam pelayanan/ pembangunan. Rakyat tidak ikut mengambil keputusan dan bahkan kehilangan hak, tetapi dilibatkan dalam pembangunan/ pelayanan.

Analogi pelayanan reformatif/ pembangunan adalah bila ada orang yang lapar, berilah ia roti, ikan dan pacul atau kail, supaya ia tidak sekedar meminta tetapi juga mengusahakan sendiri. Namun pertanyaan muncul, mereka akan mengail dan memacul di mana bila tanah dan laut sudah dikuasai bahkan dimonopoli oleh pemilik modal atau golongan elite tertentu? Di sinilah diakonia reformatif tidak dapat memberantas akar kemiskinan itu sendiri, yaitu struktur ekonomi, sosial dan politik yang tidak adil.


DIAKONIA TRANSFORMATIF DAN MODEL PEMBEBASAN

Analogi model pelayanan ini ialah, apabila ada orang lapar jangan hanya diberi roti, kail atau pacul tetapi juga hak. Pemberian roti dan pancing serta keterampilan maupun lembaga-lembaga tidak berguna bila hutan, gunung, tanah, sungai dan laut sudah dikuasai oleh pemilik modal atau kelompok tertentu. Industri kayu, industri pariwisata, shoping mall, dsb. Pada kenyataannya telah mempersubur pemilik modal dan bukan rakyat yang memiliki sumber kehidupan tersebut. Dalam level internasional, kekayaan itu lari ke dunia maju, karena mereka memberi hutang dan teknologi kepada negara-negara miskin. Hasil pembangunan pertama-tama lari ke pemilik modal domestik (dalam negeri), kemudian sebagian lagi ke luar negeri. Hasilnya adalah kemiskinan tetap menjadi bagian rakyat.
Model transformatif atau pembebasan dipelopori oleh gereja di Amerika Latin untuk menjawab kemiskinan yang sangat parah di Amerika Latin. Usaha ini adalah redefinisi pengertian tentang gereja (ecclesiologi) dan tritugasnya. Gereja tidak lagi hanya diartikan gedung yang statis, melainkan sebagai gerakan yang terbuka bagi pembaruan dan menjalankan visi Kerajaan Allah. Bukan gereja yang harus menjadi besar, tetapi Kerajaan Allah yang harus hadir dalam kehidupan manusia.
Peranan gereja dalama transformasi masyarakat diarasakan belum optimal, bahkan cenderung mempertahankan status quo (keadaan seperti apa adanya). Berdasarkan kesadaran baru inilah maka teolog-teolog pembebasan merumuskan ekklesiologi (ilmu tentang gereja) yang baru, yang lebih kontekstual. Koinonia tidak lagi dimengerti sebagai persekutuan orang-orang Kristen/ gereja saja. Ini terlalu sempit sebagai persekutuan umat Allah. Koinonia adalah persekutuan umat manusia yang baru, yang hidup dalam kasih Allah, terlepas dari apa yang menjadi agama mereka bnd. Luk. 10:25-37 tentang Orang Samaria Yang Murah Hati). Koinonia adalah cita-cita suatu tatanan hidup manusia yang baru, yang berbeda secara kualitatif dengan masyarakat sekarang. Koinonia bukanlah usaha kembali kepada Firdaus yang hilang, melainkan menciptakan suatu tatanan persekutuan hidup manusia yang berbeda secara kualitatif. Kita tidak perlu menangisi kejatuhan manusia dalam dosa (paradigma Adam dan Hawa) ke dalam dosa, tetapi berusaha menciptakan kehidupan manusia yang berbeda secara kualitatif. Inilah panggilan keselamatan yang Yesus ajarkan kepada pengikut-Nya, supaya mewujudkan kedatangan Kerajaan Allah.
Dalam perspektif ini diakonia dimengerti sebagai tindakan gereja melayani umat manusia secara multi dimensional (roh, jiwa dan tubuh) dan juga multi sektoral (ekonomi, politik, kultural, hukum dan agama). Diakonia bukan lagi sekedar tindakan-tindakan amal (walaupun perlu dan tetap dilakukan) yang dilakukan oleh gereja, melainkan tindakan-tindakan transformatif yang membawa manusia dengn sisten dan struktur kehidupannya menandakan datangnya Kerajaan Allah.
Diakonia bukan hanya berarti memberi makan, minum, pakaian, pembangunan, dst., tetapi bagaimana bersama masyarakat memperjuangkan hak-hak hidup, seperti hak makan, minum, pakaian, nafas, kerja, lingkungan yang sehat, yang telah hilang karena dirampas oleh pihak lain atau yang menindas (oppressor).
Kita butuh nasi, tetapi kita ingin memperolehnya dengan keadilan (justice). Kita butuh nasi, tetapi kita ingin memperolehnya dengan kebebasan (freedom). Kita butuh nasi, tetapi kita ingin memperolehnya dengan martabat dan pengharapan (dignity and hope).


PELAYANAN PEMBELAAN (ADVOCACY)

Pelayanan gereja tidak lagi hanya ditujukan pada pelayanan karitatif/ amal dan rohani saja, tetapi juga pelayanan pembelaan. Pelayanan ini dibutuhkan pada saat ini oleh masyarakat karena kompleksitas masalah dan sistem serta struktur masyarakat yang semakin tinggi. Pelayanan pembelaan jauh lebih dasariah atau radikal (Latin: akar), karena membantu masyarakat mempertahankan prasyarat hidupnya, seperti tanah, hak asasi, hak pendidikan, kesehatan, sosial, lingkungan hidup yang damai, sehat dan bersih.
Gereja seringkali hanya membatasi pelayanan Yesus hanya dalam batas-batas kerohanian dan karitatif saja. Bagaimana hubungan Yesus dengan masalah-masalah sosial-politik (seperti imperialisme Romawi, penindasan, ketidakadilan, militerisme, dsb)? Pertanyaan ini penting karena banyak orang merasa bahwa missi Yesus semata-mata rohani sama sekali tanpa hubungan dengan masalah-masalah material (sosial-ekonomi dan politik).
Kenyataannya, dalam hidup-Nya Yesus banyak bergaul dengan orang-orang miskin dan lemah serta Ia memberi pengharapan bahwa Ia datang untuk membebaskan mereka dari penindasan:

Roh Tuhan ada padaKu oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk. 4: 18,19).

Yesus mengkritik orang-orang kaya yang hidup mewah sementara orang-orang miskin menderita karena perbuatan mereka. Ia mengutuk orang-orang Farisi yang “mengikat beban berat lalu meletakkannya di atas bahu orang tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya” (Mat. 23:4).
Pertentangan-pertentangan ini memperlihatkan kepada kita, bahwa Yesus tidak menyerah secara pasif kepada ketidakadilan dan kejahatan dalam masyarakat-Nya. Ia menentang penyalahgunaan kekuasaan. Ia disalibkan karena pertentangan itu. Seandainya Yesus hanya membicarakan hal-hal rohani yang tidak berhubungan dengan pelayanan pembelaan (baca: masalah sosial, ekonomi, hukum dan politik), maka pemimpin-pemimpin masyarakat (baik agama, sosial maupun politik) tidak takut kepada Yesus. Karena kritik Yesus mengancam kedudukan mereka, maka mereka membunuh-Nya.
Yesus menentang praktek-praktek kekerasan struktural, ketidakadilan, kejahatan, keserakahan dengan jalan menderita (via dolorosa). Pertentangan Yesus bukan hanya kepada pemimpin Roma dan Yahudi saja, tetapi juga cara pemerintahan yang lazim di dunia ini. Yaitu bahwa pemerintahan bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi (Mark. 10: 42-44). Oleh sebab itulah pelayanan yang Yesus berikan adalah pelayanan pembelaan kepada mereka yang tidak mempunyai kekuatan sosial, ekonomi, politik maupun agama.
Yesus mengabdikan diri untuk mendatangkan kedamaian dan keadilan. Ia tidak mau berkompromi dengan kejahatan. Ia menentang orang-orang yang menyalahgunakan kekuasan dan kedudukan serta tidak peduli terhadap nasib orang sengsara. Pelayanan pembaruan yang Yesus kerjakan adalah lengkap dan utuh. Pelayanan pembaruan yang Yesus kerjakan adalah lengkap dan utuh. Pembaruan itu berarti struktur budaya dan hati manusia diperbarui. Kedua unsur itu penting dalam keselamatan yang utuh. Yesus tidak hanya memperhatikan kehidupan individu saja, tetapi juga masyarakat, dan sebaliknya. Yesus memanggil murid-murid-Nya untuk hidup kudus (bnd. Mar. 1:19; Luk. 9:58, 62) –“… serigala mempunyai liang, … tetapi .. setiap orang yang siap membajak, tetapi menoleh ke belakang, tidak layak mengikut Aku ….”


IMPLIKASI PRAKTIS BAGI YAYASAN KRISTEN DAN GEREJA DALAM PRAKSIS DIAKONIA TRANSFORMATIF

Saya akan memberikan beberapa hal yang dapat menjadi agenda bagi Yayasan-yayasan Kristen maupun gereja dalam melakukan pelayanan transformatif dan pembelaan, yaitu:

Liturgisasi

Sudah waktunya bagi lembaga Kristen tidak hanya terlalu sibuk pada pelayanan dan persoalan doktrinal-internal (mis. Konflik ajaran) tetapi melakukan liturgisasi masalah-masalah pembelaan advokasi, seperti masalah-masalah Hak Asasi Manusia. Setidak-tidaknya lembaga Kristen dapat menyatakan sikap seperti:
Menegaskan bahwa hak-hak asasi manusia adalah anugerah Allah, serta manusia harus menjadi subyek historis untuk menegakkannya. Ini bukan hanya hak-hak individu, tetapi juga hak sosial, ekonomi, kebudayaan kolektif rakyat, lingkungan yang bersih dari segala polusi yang beracun, dan termasuk mereka yang tidak mampu, serta memiliki solidaritas terhadap organisasi dan gerakan yang berjuang untuk peningkatan, perlindungan dan penegakan hak-hak asasi manusia tersebut.

Proses Liturgisasi


Informasi

Gereja dan Lembaga Kristen dapat menyampaikan masalah-masalah atau penegakan HAM, keadilan ekonomi-politik, keadilan gender kepada masyarakat moderen dengan cara-cara yang imajinatif, prophetis dan membebaskan serta menolong mereka yang lemah dan terbungkam supaya dapat didengar dan diperhatikan hak hidupnya oleh pihak lain. Sudah waktunya buletin-buletin rohani atau pelayanan lembaga Kristen dapat memuat atau mengintroduksi masalah-masalah pembangunan HAM, gerakan keadilan, gerakan anti penyiksaan, gerakan anti nuklir, dan tanggungjawab warga serta masyarakat terhadap persoalan kemanusiaan tersebut.

Reunifikasi Untuk Aliansi Strategis

Dalam pelayanan transformatifnya, gereja dan lembaga pelayanan Kristen dapat melakukan reunifikasi dengan LSM dan Universitas-universitas maupun Lembaga-lembaga Pelayanan Hukum, serta mengkonsolidasi seluruh visi dan misi pelayanannya demi keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Semua lembaga tersebut harus membebaskan diri dari ikatan struktur kekuasaan yang membutakan kita dan menjadikan kita alat dalam penghancurannya, apalagi penghancuran harkat dan martabat manusia. Bahkan sudah saatnya reunifikasi lembaga-lembaga tersebut dengan perjuangan masyarakat menciptakan keadilan, dan perdamaian sejati.

Skema reunifikasi


(Fakta-fakta)

Mengapa strategi ini harus kita lakukan? Tentu saja supaya Gereja tidak terjebak ke dalam fanatisme buta atau melahirkan nilai-nilai kehidupan yang indah tetapi bersifat naif, tidak efektif diimplementasikan dan dioperasionalisasi ke dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membawa orang Kristen hidup secara utopis-apokaliptis atau ahistoris. Sebaliknya reunifikasi ini juga akan menguntungkan LSM-LSM supaya tidak terjebak dalam pragmatisme dan juga menolong Universitaas supaya tidak konstruktivisme (teori melulu, tanpa pengujian real di lapngan kehidupan).

Inilah saatnya untuk gerakan oikumenis gereja dan lembaga pelayanan Kristen secara kualitatif untuk menyuarakan visinya tentang semua orang yang hidup di dunia dan memperhatikan ciptaan sebagai keluarga yang di dalamnya setiap anggotanya mempunyai hak yang sama untuk memperoleh kepenuhan hidup. Kita tidak dapat bertindak dan berpikir secara dikhotomi lagi, yang memisahkan perjuangan Gereja dengan Lembaga-lembaga pelayanan maupun Universitas, yang mungkin dianggap sekuler.
Forum-forum

Gereja dapat menjadi inisiator untuk mengadakan forum-forum mengenai penegakan dan perlindungan HAM, keadilan ekonomi-politik, keadilan gender, lingkungan hidup serta dilema kehidupan yang dialami masyarakat. Forum-forum ini juga harus dilakukan di tingkat lokal, baik dalam pusat-pusat latihan atau Jemaat-jemaat. Issue-issue yang dapat didiskusikan, misalnya saja:

Masalah kemiskinan yang parah serta berkembangbiaknya perkampungan kumuh.
Masalah air bersih, udara bersih dan lingkungan hidup yang bersih adalah hak asasi manusia.
Masalah sampah organik (sampah-sampah) atau kimiawi (limbah pabrik dan rumah Tangga) serta daur ulang yang tidak membahayakan hidup manusia.
Masalah pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development).
Pertanian organik & berkelanjutan (organic ang sustainable farming) dan kesehatan masyarakat miskin, dari masalah-masalah teknis sampai ideologi dan penciptaan sistem segmen pasar pertanian organik.
Anti penyiksaan dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan oleh negara.
Diskriminasi dan rasialisme negara.


Membentuk Satgas-Satgas Lintas SARA

Gereja dan Lembaga Pelayanan Kristen dapat memelopori membentuk satgas-satgas yang committed terhadap penegakkan dan perlindungan HAM, anti penyiksaan oleh negara, lingkungan hidup, dan isu-isu kehidupan lainnya, baik di tingkat nasional maupun lokal untuk menjadi nara sumber yang terdidik dan melakukan pembelaan-pembelaan politik atau sosial. Kelompok-kelompok ini dapat menolong jemaat dan masyarakat melakukan gerakan tersebut.


Pusat-pusat Studi

Gereja maupun Lembaga Pelayanan Kristen secara bersama-sama dengan lembaga lainnya dapat membangun pusat-pusat studi masalah HAM, Lingkungan Hidup, Anti Nuklir, Pertanian Organik, Pendidikan alternatif, dsb. di tingkat jemaat, lokal dan regional. Ini dapat dilakukan dengan membangun gedung dan pusat studi dimana informasi tentang masalah-masalah tersebut dapat disebarluaskan dan bahan-bahan tertulis (seperti brosur) tersedia dan mudah dimengerti oleh jemaat atau masyarakat dari lapisan manapun.


Kursus-kursus

Gereja, Lembaga Pelayanan Kristen, Universitas Kristen bahkan Sekolah Tinggi Teologia jangan hanya menyediakan kursus-kursus konvensional tentang studi Alkitab, tetapi juga studi keduniaan, terutama yang menyangkut masalah perlindungan atau pelanggaran HAM; Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan (abuse of child and woman); Lingkungan Hidup; Diskriminasi dan Rasialisme Negara, dsb. Oleh sebab itu pendeta atau pengkhotbah maupun fungsionaris gereja dapat ditolong ketika berkhotbah, yaitu Alkitab di tangan yang satu dan buku ilmu pengetahuan di tangan yang lain. Mengapa ? Sebab Allah berbicara juga kepada kita, bukan saja melalui Alkitab, tetapi juga melalui ciptaanNya. Lembaga pelayanan Kristen dapat mengambil inisiatif untuk memperbaiki mutu khotbah-khotbah digereja, yang pada akhirnya berdampak pada mutu pelayanan yang lebih kualitatif.


Mudah-mudahan kita berjalan pada jalan yang benar, namun jika kita salah, marilah kita dengan rendah hati mau merevisi konsep dan praktek kegerejaan kita, supaya kita dapat menjumpai Tuhan gereja yang sejati.