Selasa, 18 November 2008

Visi dan Misi

Visi GKJ Dagen-Palur adalah:

  1. Menjadi Gereja Misioner yang sosoknya adalah suatu gerakan Pekabaran Injil untuk mengenal dan memperkenalkan Kristus Yang Hidup (=bukan Kristus yang dogmatik !).
  2. Menunaikan Amanat Agung Kristus dengan jalan melaksanakan misi pembebasan umat manusia dari segala bentuk penindasan, agar kasih Allah dapat diwartakan dalam bentuk-bentuk yang paling konkrit dan komunikatif, di tengah-tengah arus keprihatinan masyarakat Bangsa Indonesia yang majemuk dan terus-menerus mengalami perubahan sosial.


Misi GKJ Dagen-Palur adalah:

  1. Mengelola institusi GKJ Dagen-Palur secara profesional, sehingga dapat berfungsi efektif dalam mengejawantahkan Tubuh Kristus secara konkrit di tengah-tengah kehidupan Jemaat (=rakyat).
  2. Merawat kelestarian warisan-warisan dari masa silam─berupa tradisi lokal, bahasa teologis dan tradisi iman/gereja,dan menafsirkannya kembali secara kontekstual, supaya menjadi perlengkapan-perlengkapan yang bersifat emansipatif, mencerahkan, dan membebaskan dalam hidup beriman kristiani sehari-hari, melalui praksis komunikasi iman yang bersifat inter-religius.

Selengkapnya..

Struktur Kemajelisan


Selengkapnya..

Peta Pelayanan


Selengkapnya..

Foto Kegiatan GKJ Dagen-Palur


























Selengkapnya..

Foto Kegiatan Pelayanan Masyarakat Umum



Selengkapnya..

Strategi Penatalayanan














Selengkapnya..

Membangun Kekuatan Ekonomi Subversif

MEMBANGUN KEKUATAN EKONOMI SUBVERSIF

(Peran Gereja Untuk Memberdayakan Masyarakat Dalam Membangun Kekuatan Ekonomi Alternatif )

Pengantar
Sering sekali dalam banyak tulisan-tulisan di media massa, kita dapat menjumpai bahwa bangsa Indonesia iri dan berdecak kagum akan kehebatan pemerintahan Korea, Thailand, Brazil, dan beberapa negara dunia III lainnya dalam membangun ekonominya yang mengalami krisis moneter dan ekonomi. Bahkan kita selalu memandang keberhasilan tersebut disebabkan oleh para birokrat, ekonom/ tehnokrat atau pelaku bisnis yang bersih dan jujur, sedangkan sebaliknya bangsa Indonesia tidak memilikinya. Akibatnya kita sering terpukau hanya pada keberhasilan kaum elite di jajaran birokrasi, politik dan bisnis-ekonomi.
Apakah benar faktor tunggal keberhasilan negara-negara tersebut membangun ekonomi negara adalah karena keberhasilan mereka menyelenggarakan pemerintahan yang bersih (clean government)? Apakah rakyat (petani dan buruh) dan arus bawah tidak memberi kontribusi apa-apa terhadap keberhasilan tersebut? Mengapa seringkali mereka (peranan dan kontribusi historisnya) kita lupakan, dan hanya kita asumsikan sebagai obyek atau korban sejarah saja? Sejauhmanakah peranan umat beragama memberikan kontribusi bagi bangsanya? Apakah Gereja mengambil peranan yang bermakna bagi proses transformasi tersebut di segala bidang? Sejauhmana Gereja dan organisasi-organisasi rakyat dapat memberikan kontribusi historisnya bagi pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan berprikemanusiaan?
Tulisan ini merupakan sebuah analisa kasar dari sebuah studi banding mengenai kekuatan kolaboratif dari organisasi gereja, LSM, universitas, partai politik dan organisasi rakyat dalam melawan kekuatan oppresip sistem kapitalis yang diselenggarakan oleh negara. Tulisan ini ingin menampilkan wajah lain dari keberhasilan sebuah negara mengatasi krisis moneter, ekonomi dan kemiskinan yang parah, yaitu wajah buruh, bakulan dan petani – wajah rakyat. Tentu saja saya sarankan kepada pembaca supaya bersikap kritis terhadap tulisan yang dihasilkan dari sebuah program studi banding yang saya lakukan di Korea, Guatemala dan El Salvador. Ditambah lagi terbatasnya ruang untuk menceritakan lebih terperinci dan spesifikasi dari masing-masing gerakan rakyat tersebut dari aspek filosifis, teknis sampai konteks sosial-budayanya.

Pembelajaran yang saya dapat dari gerakan buruh, bakulan, petani maupun aktivis sosial-gereja adalah begitu kuatnya gereja, organisasi-organisasi non-pemerintah dan rakyat membangun perlawanan subversif terhadap sistem ekonomi yang menindas mereka. Gerakan tersebut menandakan adanya dua arus yang mengalir dalam mengukir sejarah sebuah bangsa, yaitu arus atas dan arus bawah. Mungkin ini berguna bagi kita selaku aktivis sosial dan fungsionaris gereja dalam memberdayakan rakyat dalam membangun sistem ekonomi alternatif.
Oleh sebab itu saya akan memberikan beberapa catatan yang berfokus pada visi, misi dan kekuatan subversif dari gerakan organisasi gereja, universitas, LPK (Lembaga Pelayanan Kristen/ LSM) dan rakyat, yaitu antara lain:

Superversion vs Subversion
Kekuatan dan kapasitas membangun ekonomi negara tidak hanya terletak pada Pemerintahan yang bersih atau kelompok elite politik dan ekonomi saja, tetapi juga kekuatan subversif dari para buruh, bakulan, dan petaninya (baca: rakyat). Yang saya maksud kekuatan subversif adalah bahwa transformasi ekonomi dilakukan dari arus bawah, dimana rakyat menjadi subyek historis (penentu arah dan sistem ekonomi) dalam menentukan sejarah bangsa.
Transformasi ekonomi dapat kita lakukan dari dua aras, yaitu aras atas yang biasa disebut superversion, yaitu pelaku-pelaku dan penentu sejarah hanya kelompok elite. Superversion hanya menjadikan rakyat sebagai obyek historis – korban keputusan kelompok elite, dan bukan penentu sejarah hidupnya sendiri. Seringkali transformasi superversion berlangsung hanya sebatas lip-service, karena para elite politik-ekonomi mempunyai kepentingan untuk mempertahankan status quo. Aras lainnya yaitu subversion, yaitu dari bawah dimana bukan hanya para elite politik-ekonomi yang menentukan mati-hidupnya suatu bangsa, tetapi rakyat juga. Pendekatan subversion menjadikan rakyat sebagai subyek historis yang sejati. Sebagai contoh buruh-buruh yang tergabung dalam MICRO Trade Union (sebuah perusahaan pulpen dan pensil) di Korea. Ketika pemilik perusahaan tersebut ditahan polisi karena kasus KKN yang merugikan negara, para buruh menolak perusahaan tersebut dijual kepada investor asing dengan harga murah, sekedar hanya untuk mendatangkan investasi, dan juga menolak adanya PHK. Mereka meminta dukungan dari pemerintah untuk mengambil alih dan memberi kesempatan kepada kaum buruh untuk meneruskan roda produksi. Para buruh bersedia bekerja dan tidak dibayar sampai lebih dari 1 ½ tahun sebagai penyertaan modal.
Sekarang mereka sudah mendapat gaji kembali dan perusahaan itu tidak dijual kepada pihak asing, juga tidak dimiliki oleh seorang konglomerat, tetapi dimiliki oleh negara, buruh dan masyarakat luas. Sebuah nasionalisme yang bisa kita pelajari dari kaum buruh sekaligus membangun sistem ekonomi kaum buruh itu sendiri. Bandingkan dengan Indonesia yang menjual aset-aset vital kepada pihak asing dan menghancurkan kedaulatan rakyat.


Plebisit National Ala Brazil
Gereja bisa belajar dari kasus Brazil dimana gereja dan segenap komponen masyarakat menuntut pemerintah supaya melakukan plebisit nasional terhadap hutang luar negeri. Hutang luar negeri yang begitu besar menyebabkan negara mengalami kelumpuhan ekonomi. IMF dan Bank dunia serta lembaga-lembaga keuangan internasional merupakan instrumen politik dari negara-negara maju untuk menjajah negara-negara Selatan (seperti Indonesia). Gereja bersama-sama dengan gereja-gereja, gerakan-gerakan sosial, partai-partai politik, organisasi-organisasi buruh dan kaum professional berhasil mendesak pemerintah melakukan plebisit nasional, yang terjadi pada tanggal 2-7 September 2000. Lebih dari 90% dari partisipan menentang kebijakan pemerintah untuk hutang kembali kepada negara donor. Kebijakan hutang berarti mengorbankan negara dan membunuh rakyat. Rakyatlah yang menjadi korban dari hutang luar negeri itu, maka rakyatlah yang harus menentukan apakah perlu berhutang lagi atau tidak. Ini adalah salah satu bentuk subversif dimana politik ekonomi negara harus di bawah kontrol rakyat. Mengapa bangsa Indonesia hanya menyerahkan masalah hutang luar negeri kepada pemerintah saja, padahal ini sangat menyangkut nasib seluruh rakyat Indonesia. Kita kaya sumber alam dan berlimpah produknya, tetapi hidup dalam kemiskinan karena hutang yang sudah mencekik bagaikan gurita.


Syntesa Kapitalisme dan Kolektivisme : Sistem Ekonomi Rakyat Subversif

Dari kasus yang dilakukan oleh CEDEPCA (sebuah LSM Keagamaan) di Guatemala dan El Salvador. Sistem ekonomi yang mereka bangun adalah syntesa dari kapitalisme dan kolektivisme. Mereka membangun komunitas-komunitas basis, dan dalam komunitas basis tersebut mereka tetap memiliki hak pribadi atas alat produksi untuk melakukan kompetisi dengan orang lain. Di sisi lain mereka juga mengatur supaya ada alat produksi yang dimiliki oleh komunitas, sehingga mereka akan mempunyai lumbung gandum/ padi atau aset ekonomi yang dimiliki secara kolektif (seperti lumbung padi, Traktor, Sumur, dsb). Dari kekayaan dan alat produksi yang dimiliki secara kolektif tersebut, komunitas membangun infra struktur yang mereka butuhkan seperti sarana irigasi, pendidikan, perumahan dan lingkungan, tanaman-tanaman produktif, dsb.


Akses Mengontrol Produksi: Substansi Keadilan Ekonomi Rakyat
Tuntutan keadilan dan kemanusiaan yang diperjuangkan rakyat tidak berhenti pada retorika dan jargon-jargon perjuangan keadilan ekonomi rakyat, tetapi juga secara substansial dapat kita lihat. Misalnya melalui perjuangan yang begitu panjang buruh-buruh di PT KIA menuntut keadilan dan perlakuan manusiawi atas dirinya. Buruh-buruh akhirnya diperkenankan berserikat, diberikan sebuah gedung berlantai dua sebagai pusat organisasi mereka (KIA Automobile Trade Union). Buruh turut mengawasi roda produksi bukan hanya manajer perusahaan untuk mencapai target perusahaan yang berkeadilan dan berprikemanusiaan. Mereka ikut mengontrol kecepatan berputar roda produksi dari pemasangan mesin, body asesoris mobil sampai uji coba kendaraan sesuai kesepakatan.
Inilah keadilan ekonomi, misalnya dicapai kesepakatan antara pengusaha dan buruh, jika roda produksi perjam menghasilkan 1 buah mobil, sehingga buruh dihormati sebagai manusia bukan mesin/ robot produksi tetapi perusahaanpun tetap untung. Tuntutan kebebasan berserikat harus juga disertai dengan kepemilikan hak menentukan nasib melalui organisasi buruh dan sistem pengorganisasiannya, memiliki gedung sendiri, mengontrol sistem produksi seperti dapat meninjau setiap bagian kapan dan jam berapa mereka kehendaki, dsb. Semua dipahami sebagai simbol keadilan dan kemanusiaan, yang berarti juga memperkuat basis dan sistem ekonomi rakyat.


Ekonomi Rakyat: Membangun Masyarakat Ideologis
Melalui penguatan organisasi-organisasi rakyat, mereka tidak lagi menjadi mahluk apolitis dan ahistoris, sebaliknya mereka menjadi masyarakat ideologis yang menolak ideologi masa mengambang (floating mass) dan menentukan diri untuk menjadi subyek historis dalam menentukan dan membawa sejarah bangsanya menjadi bangsa yang adil dan sejahtera, yang diwujudkan dalam membangun sistem ekonomi alternatif.
Oleh sebab itu kurikulum pendidikan bagi kaum buruh dan petani dibangun dan dikembangkan; sistem dan model demonstrasi secara profesional dan anti anarkisme dibangun; cara menyampaikan tuntutan, penentuan waktu dan tempat, persiapan segala sarana dan fasilitas demonstrasi dilakukan dengan perhitungan yang sangat sistematis dan baik; sehingga membangun sistem demokrasi yang dapat dibanggakan. Organisasi-organisasi buruh dan petani dapat mempelajari dan mengevaluasi program-program politik, sosial ekonomi partai-partai, sehingga mereka dapat mengkampanyekan keterpihakannya pada sebuah partai yang dapat mengartikulasikan kepentingan rakyat.


Ekonomi Rakyat: Membangun Infra-struktur Yang Berorientasi Pada Rakyat

Tidak kalah radikalnya dengan gerakan buruh, gerakan dan misi petanipun mampu menghadapi kekuatan kapitalis. Liga Tani di Chulwon dan komunitas Tani di Chulroan, misalnya mempunyai organisasi tani yang begitu kuat. Mereka memiliki sekolah pertanian sendiri, yang mengembangkan pertanian organik. Mereka juga mempunyai sistem marketing yang memenuhi standar internasional, SPBU sendiri (karena harga bensin diserahkan pada pasar), lumbung sendiri, Bank Petani, perupustakaan, supermarket petani, dsb. Petani-petani dilarang menjual hasil produksi pertaniannya (entah padi, sayur, atau telur bebek) secara bebas tetapi harus melalui organisasi sehingga harga tidak jatuh dan dikontrol oleh mereka. Kalau di Indonesia petani identik dengan orang bodoh dan tidak berpendidikan tinggi, maka di Korea kita dapat menjumpai banyak petani adalah sarjana pertanian. Petani adalah profesi yang dapat meningkatkan taraf kehidupan bukan sebagai lambang kemiskinan. Gerakan komunitas tani dan liga tani ini mendesak pemerintah untuk terus-menerus memperbaiki sistem pertanian dan melakukan transformasi pertanian di Korea yang berpihak kepada kaum tani.


Ekonomi Rakyat: Membangun Aliansi Strategis
Membangun ekonomi rakyat, berarti juga membantu organisasi rakyat berelasi dengan Partai-partai politik atau organisasi nasional dan internasional yang mempunyai platform kesejahteraan rakyat sehingga dapat menyalurkan aspirasi mereka. Seperti CEDEPCA membantu organisasi-organisasi rakyat di Guatemala dan El Salvador berjuang bersama aliansi 12 Partai Rakyat untuk program land-reform, perumahan rakyat (rumah bambu dan batako), dan partisipasi rakyat dalam keputusan politik. Singkatnya organisasi rakyat mempunyai akses untuk ambil bagian dalam penyelenggaraan negara.
Juga berjalan bersama dengan Universitas-universitas yang berorientasi pada pembangunan ekonomi rakyat, seperti UCA (Universidad de Centro Americano) yang membangun teori ekonomi pembebasan. Universitas dan para akademisi mengembangkan ilmu politik, ekonomi budaya, pertanian yang mendapat inspirasi dari teologi pembebasan, yang menempatkan rakyat sebagai subyek historis. Begitu juga dengan Organisasi-organisasi buruh dan tani di Korea, mereka berelasi dengan Democratic Party ( Lee Kee Taek), National Congress for New Politics (Kim Dae Jung), New Korea Party ( Kim Young Sam) dan United Liberal Democrat (Kim Jong Pil) dalam membangun kekuatan ekonomi rakyat dan melahirkan undang-undang di sektor ekonomi yang berorientasi pada kepentingan rakyat.
Untuk kasus Indonesia, gereja dapat saja melakukan kontrak-kontrak sosial-politik dengan partai atau perwakilan daerah untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, dan memperkuat basis ekonomi rakyat. Jika ini terjadi, maka pemilu bukan sekedar ritual kosong, tetapi momentum politik untuk menciptakan perubahan yang berbeda secara kualitatif.

Dari beberapa catatan di atas jelaslah pengorganisasian masyarakat menjadi sangat powerful dan efektif untuk melawan kekuatan destruktif-represif dari sistem dan ideologi ekonomi kapitalisme negara dan internasional. Membangun kekuatan subversif bukanlah sesuatu yang harus kita hindari, sebaliknya harus kita lakukan. Fungsi GEREJA atau organisasi keagamaan harus memfokuskan pelayanannya pada pemberdayaan organisasi rakyat tersebut sebagai subyek historis.
Kekuatan subversif mempresuposisikan manusia sebagai mahluk yang diciptakan segambar dengan Penciptanya, sehingga rakyat pun menjadi subyek yang menentukan sejarahnya pula. Implikasinya adalah bahwa buruh dan petanipun adalah pelaku-pelaku sejarah yang harus menentukan arah dan visi kemana bangsa ini akan menuju. Nasib bangsa tidak hanya diserahkan kepada segelintir manusia yang duduk di parlemen atau kabinet, nasib bangsa harus diserahkan dan ditentukan bersama rakyat. Supaya rakyat dapat menjadi pelaku sejarah, maka rakyat harus mampu mengorganisasikan dirinya sekuat kekuatan yang menentangnya.


Rekomendasi untuk Gereja dan LPK (Lembaga Pelayanan Kristen) Indonesia

Melakukan program konsientisasi kepada rakyat secara sistematis mengenai sistem perekonomian nasional yang kapitalistik-militeristik dan kekuatan lembaga-lembaga keuangan internasional dengan segala dampaknya bagi rakyat, sehingga dapat melakukan antisipasi-antisipasi produktif. Membangun kepekaan rakyat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan perekonomian rakyat.

Penciptaan ideologi ekonomi serta implikasinya, seperti penolakan bibit unggul/ teknologi tinggi, pestisida, pupuk kimiawi menuju ideologi ekonomi berbasis rakyat dan padat karya yang berorientasi pada kelestarian lingkungan hidup dengan menciptakan pertanian dan predator organik. Dari masalah teknis sampai penciptaan sistem pasar pertanian organik. Penguasaan informasi dan promosi ideologi pertanian organik yang memperkuat perekonomian rakyat (kasus Texas). Umumnya kita hanya berhenti pada masalah teknis pertanian/ perikanan organik.

Menciptakan program-program terpadu (pertanian, perikanan, perburuhan) yang berfokus pada kemandirian dan melepaskan diri dari ketergantungan kepada pihak lain yang dianggap lebih kuat atau potensial untuk menindas dan yang memiliki alat produksi.

Menciptakan sekolah alternatif di pedesaan atau perkotaan melalui program paket A, B dan C yang memberikan basis filosofis dan materi bagi rakyat untuk membangun perekonomian rakyat. Kurikulum sekolah tersebut terdiri dari 40% teori tepat guna dan 40% praktek lapangan sampai sistem pemasaran dan 20% tutorial dan pengorganisasian.

Pembentukan lembaga-lembaga rakyat (seperti kelompok ikan, kelompok tani, buruh, pengrajin sampai anak-anak jalanan) yang memperkuat ketahanan ekonomi rakyat. LPK lebih mudah membuat jejaring dengan masyarakat yang memiliki organisasi-organisasi kerakyatan.

Untuk daerah-daerah yang memungkinkan perlu dipikirkan sintesa dari dua sistem ekonomi, yaitu kapitalisme dan sosialisme (kasus Guatemala dan El Salvador); land-reform dan tata desa pertanian (kasus Kamboja, Thailand); pengelolaan tanah negara dan pengusaha oleh rakyat (kasus Vietnam).

Gerakan parlementer melalui sinergi dan aliansi antara LPK, Gereja/ Lembaga Keagamaan, Organisasi Rakyat, Universitas dan partai-partai politik yang memiliki platform membangun dan memberdayakan perekonomian rakyat. Gereja dapat terlibat dalam menentukan politik Anggaran di tingkat Pemerintahan Daerah/ Kota sebagai TKS (Tim Kerja Stakeholder).

Khusus untuk GKJ Dagen-Palur, sudah waktunya untuk membangun Lembaga-Lembaga Keuangan Mikro, Koperasi, Kelompok Usaha Bersama dsb sebagai kekuatan ekonomi alternatif bagi masyarakat. Sudah waktunya Gereja, seperti juga GKJ Dagen Palur mempunyai basis ekonomi yang dapat memperkuat ekonomi masyarakat.

Selengkapnya..

Penatalayanan Gereja

PENATALAYANAN GEREJA YANG BERORIENTASI PADA PEMULIHAN MARTABAT DAN HAK ASASI MANUSIA


Pendahuluan
Fenomena kekerasan yang terjadi di Indonesia sudah sangat menakutkan. Dari maling yang dibakar hidup-hidup, pelacuran anak-anak, penyiksaan para TKI/ TKW, pembunuhan para aktivis HAM, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penghancuran rumah ibadah dan perusakan semena-mena oleh ormas-ormas, sampai pada perang saudara yang sangat menyakitkan kehidupan.
Pada level international kita dapat melihat terorisme internasional, invasi USA ke negara-negara dunia III (Irak, Afganistan), serta kekerasan ekonomi-struktural melalui IFIs (International Financial Institutions/ Lembaga-lembaga Keuangan Internasional – Bank Dunia, IMF, ADB) menjajah negara-negara Selatan, yang kaya sumber alam, tetapi miskin secara ekonomi-sosial. Indonesia, negara-negara Amerika Latin, ASEAN, negara-negara Afrika (baca: negara-negara Selatan), sekalipun kaya sumber alamnya, tetapi hidup dalam kemiskinan dan menjadi negara yang terkebelakang.
Fenomena tersebut akhirnya mendorong kita bertanya sejauh manakah gereja mampu menjadi agen penegak Hak Asasi Manusia (HAM). Segala macam kritik terhadap gereja sudah sering kita dengar yaitu, mengapa ajaran dan perilaku gereja tidak mampu mengembangkan dan memberi kontribusi kepada masyarakat tentang penegakan HAM. Mengapa ajaran dan perilaku keagamaan kita tidak memberi dorongan kepada kita untuk berani menjadi saudara bagi sesama?

Masih absahkah kita berbicara tentang penegakan HAM di atas puing-puing kehancuran humanitas manusia Indonesia. Lebih-lebih ketika kita melihat bahwa kehancuran humanitas tersebut justru dilakukan oleh orang-orang yang merasa dirinya membela agama, suku, ras atau golongannya. Sejauhmanakah heroisme tersebut dibentuk oleh budaya dan praktek keagamaan? Apakah benar akar kekerasan adalah agama, suku, ras atau golongan itu sendiri? Masih relevankah kita berbicara penegakan HAM sementara di depan mata kita terus saja kita lihat perilaku manusia yang semakin menakutkan, perang antar kelompok, membakar copet secara hidup-hidup, perusakan segala tempat yang dianggap antiagama, penculikan, penyiksaan, dsb?
Mengapa manusia begitu mudah melakukan agresi? Di tengah kegersangan sifat dan perilaku humanis tersebut, mungkin sumbangan analisa sosio-psikologis atas watak manusia dari Erich Fromm mengenai gejala kekerasan/ agresi sangatlah menolong kita untuk memahami mengapa manusia mempunyai perilaku agresi jahat – destruktif dan kejam. Ada yang berpendapat bahwa agresi adalah tindakan yang berbahaya, yaitu tindakan-tindakan yang berakibat merugikan atau merusak benda-benda tidak hidup, tanaman, manusia atau binatang, walaupun harus kita akui sifat dari tindakan-tindakan yang membahayakan itu secara keseluruhan tidaklah saling berkaitan (Erich Fromm, Akar Kekerasan, 2000).
Sebenarnya agresi merupakan dorongan yang adaptif secara biologis dan berkembang secara evolusioner, yang mempertahankan hidup individu dan spesies. Namun juga agresi dapat berkembang menjadi penumpahan darah (bloodlust) dan kekejaman, maka dapat kita artikan bahwa hasrat irasional ini juga merupakan bawaan sehingga peperangan dapat dianggap sebagai akibat dari kegemaran membunuh. Ini artinya bahwa peperangan dan kekejaman disebabkan juga oleh kecenderungan destruktif bawaan dalam fitrah (sifat dasar) manusia. Fromm memang menggunakan istilah agresi untuk dua hal, yaitu agresi reaktif-defensif (agresi lunak) dan agresi jahat, yaitu kekejaman dan kedestruktifan manusia untuk merusak dan memperoleh kekuasaan mutlak. Pada level tertentu agresi jahat berwujud dalam perilaku nekrofilia (mencintai kematian) – kepuasan atau kesenangan terhadap segala sesuatu yang dapat membusuk, tak bernyawa, destruktif, merusak/ membinasakan.

Nilai Intrinsik Dualitas HAM : Anugerah dan Perjuangan/ Proyek Historis

Ketika kita berbicara tentang HAM, maka kita akan menemukan nilai/ intrinsik dualitas di dalamnya. Di satu sisi, kita percaya bahwa HAM adalah anugerah penciptaan (Kej 1:26,27). Yang dimaksud dengan anugerah (given) adalah nilai yang melekat dalam hidup manusia ketika ia diciptakan/ lahir. Sebagai anugerah/ kodrat (given) dalam penciptaan, maka presuposisi teologis ini mendorong kita untuk mengakui semua manusia, baik Kristen atau Islam, hitam atau putih, Yahudi atau Arab, cacad atau normal, laki-laki atau perempuan, orang tua atau bayi, dsb. adalah sama mulia, berharga, bermartabat, dst Dari sudut pandang ini maka tidak ada satu pihak/ otoritas baik dalam bentuk lembaga keluarga, gereja, masyarakat, adat atau bahkan negara yang dapat mengklaim sebagai sumber legitimasi HAM dan juga sebaliknya ada yang dapat mengambil/ merampasnya dari manusia. Nilai intrinsik dalam penciptaan adalah HAM melekat dalam penciptaan itu sendiri.
Dari perspektif ini, HAM adalah sebuah konsep egalitarian yang radikal, bahwa semua umat manusia memilikinya dan ini melampaui batas-batas geografis, agama, ras, suku, jenis kelamin, usia, dsb. serta tidak dapat dihapus atau dicabut oleh siapapun dengan cara apapun. Dari konsep ini seharusnya tidak ada pelarangan jenis kelamin, agama, rasial, dan diskriminasi lainnya untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh menjadi presiden, imam, pendeta, ulama, dosen, dsb. Mengapa? Karena nilai HAM adalah intrinsik (nilai yang dibawa/ dimiliki secara natural) dalam diri manusia. Tidak ada satu pihak/ otoritas pun (termasuk agama) yang boleh mengklaim sebagai pemberi atau pelenyap HAM tersebut.
Ketika kita berbicara bahwa bukan orang lain, keluarga, gereja, masyarakat atau negara sebagai sumber/ dasar legitimasi HAM, juga harus kita akui bahwa mereka memiliki kekuasaan (power) untuk memperkuat atau melenyapkan HAM. Maka nilai intrinsik dualitas HAM yang lain, selain anugerah (given) adalah bahwa HAM merupakan perjuangan sejarah (historical struggle). Karena ia menjadi perjuangan sejarah, maka HAM juga merupakan sebuah proyek sejarah (historical project). Gereja, agama, LSM, Lembaga Adat, dan negara, PBB, dsb. memiliki kekuatan dan kuasa untuk memperjuangkan, menegakkan, meningkatkan, dan menjaga HAM supaya nilai intrinsik pertama HAM sebagai anugerah (given) dapat berlaku. Namun di sisi lainnya lembaga-lembaga tersebut juga dapat melenyapkan HAM, merampasnya serta menginjak-injaknya, yang menyebabkan nilai intrinsik HAM sebagai anugerah (given) tidak berjalan/ berlaku. Itulah sebabnya HAM harus terus-menerus diperjuangkan pada level yang berbeda-beda, yaitu dari wacana sampai pada legal-politis dan ideologis.
Kita tidak bisa berhenti pada pengakuan bahwa HAM itu anugerah Tuhan dalam penciptaan, tetapi sekaligus juga harus memperjuangkannya supaya terwujud. Kita percaya bahwa perjuangan melawan penindasan, dominasi, kekerasan, dsb. adalah perlu dan bermakna serta dapat dibenarkan. Oleh sebab itu HAM bukan hanya sebagai sikap pasrah menerima kodrat/ anugerah tetapi juga menjadi perjuangan dan proyek sejarah (historical struggle and project).
Ketika kita berjuang, termasuk melawan tradisi dan doktrin gereja/ agama, adat, negara, dsb. yang melenyapkan HAM, norma manakah yang harus kita utamakan? Apakah kita berpihak pada perjuangan agama kita, karena sekedar pertimbangan itu agama dan kepercayaan kita? Jika tidak, mengapa kita tidak terlibat? Dalam memperjuangkan HAM sebagai nilai intrinsik perjuangan/ proyek sejarah, kita harus memiliki norma untuk kita tegakkan. Jawabnya adalah jelas, yaitu nilai intrinsik HAM itulah yang menjadi norma utama (Prima Norma), yaitu kemanusiaan yang segambar dengan Pencipta, yang melampaui batas-batas agama, ras, suku, bangsa dan jenis kelamin. Prima norma ini harus berjalan supaya perjuangan menegakkan HAM tidak berjalan sebaliknya tetapi menuju pada nilai intrinsic HAM sejati.
Prima norma HAM ini harus menjadi dasar bagi gereja/ LPK untuk melawan dan berjuang atas segala bentuk penindasan, dominasi, kekerasan terhadap manusia yang dilegetimasi oleh agama, ras, suku, bangsa atau seksual. Perjuangan/ proyek historis HAM adalah sebuah proses untuk merevisi, mereinterpretasi serta merekontekstualisasi segala doktrin, kepercayaan maupun perilaku manusia yang hanya menghancurkan/ melenyapkan prima norma HAM.

Dasar Teologis Kristen Bagi HAM: Allah adalah Pribadi

Doktrin Kristen tentang Allah sebagai pribadi (Latin: Persona) dapat kita lihat sebagai dasar teologis pengakuan atas HAM. Artinya pengakuan Allah sebagai pribadi dan bukan melulu roh menyatakan nilai kemanusiaan yang begitu luhur. Allah bukan hanya sesuatu yang metafisik melainkan pribadi. Yaitu Allah yang hadir dalam sejarah dan menjumpai umat manusia dalam Yesus. Bandingkan lebih mendalam lagi gambar Yesus yang berbeda-beda, yaitu Yesus sebagai Yesus Indian, Yesus China, Yesus Latin, Yesus Jawa, Yesus Rakyat tertindas dsb, Dengan demikian kehadiran Allah bukanlah hanya suatu permainan intelektual, melainkan personal – realitas yang hidup-- yang dapat manusia rasakan kehadiran-Nya setiap hari. Pengalaman religius manusia membentuk kepercayaan kita kepada personalitas Allah. Dalam Alkitab, kita dapat menemukan perjumpaan manusia dengan Pribadi Allah sebagai pengalaman religius yang mentransformasi hidup manusia. Misalnya perjumpaan Musa dengan Allah; panggilan Abraham; nabi Elia; Yunus yang tidak mau ke Niniwe; Yeremia; Yesaya; Paulus yang tadinya bejad dan pembunuh dapat menjadi rasul, dsb.
Dalam pengalaman religius tersebut kita dapat mengerti, bahwa orang yang dijumpai Allah dapat mepercayai bahwa Allah adalah Allah yang hidup – nyata. Dari perspektif teologis tersebut, kita dapat percaya tentang personalitas Allah dalam kemanusiaan orang Negro, Putih, Jawa, Tionghoa, Kristen atau Islam, dsb. Jadi dengan percaya bahwa Allah adalah Pribadi, maka setiap manusia adalah bermakna dan berarti, bukan karena apa dan siapa dia, melainkan an sich dia adalah pribadi. Seseorang bermakna bukan karena ia diberi oleh orang lain, tetapi dari sananya, diciptakan Allah sebagai pribadi. Jadi, ketika kita menghina pribadi Negro, atau Putih, Tionghoa, Islam, Kristen, dsb. Kita sebenarnya menghina Allah itu sendiri. Begitu juga ketika kita merampas HAM seseorang, sebenarnya kita merampas kehidupan Allah dalam diri orang tersebut.
Inilah alasannya, mengapa dalam sejarah perjuangan HAM (Civil Rights Movement), Pdt. Martin Luther King, Jr. percaya pada personalitas Allah dalam kemanusiaan masyarakat Negro maupun Putih (bnd. Yesus menolak partikularisme Yahudi; Mahatma Gandhi; Nelson Mandela). King tidak hanya ingin berjuang bagi masyarakat Negro dan menghancurkan martabat kulit Putih, melainkan mengembalikan personalitas Allah yang hilang dalam manusia yang ditindas (Negro) dan yang menindas (Putih). Ketika orang-orang Negro ditindas, dan diberlakukan hukum yang diskriminatif-rasialis, serta manusia dipisahkan relasi sosialnya atas dasar perbedaan warna kulit, sesungguhnya ia kehilangan personalitasnya. Namun perlu diingat, bersamaan dengan itu, orang yang menyebabkan Negro kehilangan personalitasnya, sesungguhnya dia sendiri juga kehilangan personalitasnya. Bukan hanya orang yang ditindas yang kehilangan kemanusiaannya, tetapi juga si penindas. Jadi pada praktek perampasan HAM, di sana tidak ada yang lebih manusiawi, dan tidak ada kemanusiaan, baik pada orang yang ditindas maupun penindasnya.
Allah yang adalah Allah personal, adalah juga Allah yang bekerja dalam sejarah manusia untuk menegakkan martabat manusia dan menciptakan komunitas yang sejati. Sama seperti Allah mengeluarkan Israel dari tanah perbudakan (baca: anti HAM) ke tanah perjanjian (=kemanusiaan baru), Ia juga akan membebaskan semua manusia yang martabatnnya sedang dirampas dalam penindasan, hukum yang diskriminatif (rasial, religius, seksis) dan ketidakadilan sosial. Pembebasan jangan kita lihat sebagai pembebasan sekali untuk selama-lamanya, melainkan hanya suatu paradigma (contoh historis) pembebasan dan perjuangan HAM yang Allah kerjakan dalam sejarah manusia. Pembebasan Israel harus kita pahami sebagai sebuah paradigma pembebasan, yang berlaku juga pada sejarah manusia di bagian lain dan pada bangsa lain, juga di zaman yang lain.
Dari perspektif teologis kristen, Allah personal yang historis ini nyata dalam inkarnasi Yesus. Kepercayaan kepada inkarnasi, kematian, dan kebangkitan Yesus membawa kita pada pemahaman bahwa kematian Yesus bukan sekedar ide teologis, melainkan ekspresi abadi bahwa Allah memperbarui martabat manusia. Kepercayaan kepada Allah yang bekerja dalam sejarah ini membawa manusia tiba pada kepercayaan bahwa Allah adalah Allah kasih dan Allah keadilan, yang tidak netral tetapi berpihak pada orang yang dirampas hak-hak hidupnya. Allah kasih dan keadilan ini meminta imperatif etis umat untuk berpartisipasi menegakkan HAM. Jadi kalau ada orang Islam ditindas HAM-nya, maka yang harus marah dan berjuang bukan hanya dari umat Islam, tetapi juga dari kelompok lainnya, dan sebaliknya.
Dengan demikian, martabat atau harkat manusia terletak pada keterhubungannya dengan Khaliknya. Kepercayaan ini membawa kita pada penegasan bahwa umat manusia diciptakan oleh Allah dalam gambar-Nya (fitrah-Nya). Dari perspektif ini, jelaslah bahwa tidak ada skala subordinatif dari martabat atau esensi manusia; juga tidak ada hak ilahi atas satu ras, golongan atau agama yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Ide tentang harkat dan martabat personalitas manusia didasarkan pada pemahaman teologis bahwa semua manusia diciptakan sama.
Ini mempunyai konsekuensi bahwa setiap manusia diberkati oleh Penciptanya dengan hak-hak yang tidak dapat dihilangkan/ diasingkan seperti kehidupan, kebebasan maupun kebahagiaan. Ini menjadi kesakralan personalitas manusia. Kesakralan ini akan hilang ketika seseorang diperlakukan hanya sebagai obyek atau alat untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu setiap orang berhak dan layak berkata, bahwa dirinya adalah manusia dengan harkat dan martabat.
Kita percaya kepada kesakralan humanitas manusia karena kita percaya kepada Allah yang adalah pribadi, yang menciptakan manusia laki-laki dan perempuan segambar dengan diri-Nya (Kejadian 1:27). Oleh sebab itu, semua orang, baik Hitam atau Putih, Indonesia atau Arab, Kristen atau Islam, dsb. mempunyai kapasitas moral untuk melakukan kebaikan, keadilan, dan kebenaran untuk memerangi kejahatan-kejahatan HAM.

Prinsip Kasih dan Anti-kekerasan (nonviolence): Metode Sejati Penegakan HAM dan Perlawanan Terhadap Praktek Kekerasan

Kasih adalah salah satu bagian yang prinsipial dari doktrin Kristen. Ada prinsip lain yaitu keadilan dan pengharapan. Dalam memperjuangkan HAM, gereja harus menjadikan kasih sebagai prinsip yang lebih utama dari yang lainnya, sebab kasih adalah kehendak baik yang kreatif, menebus dan memahami bagi semua manusia. Kasih bukanlah kelemahan, melainkan tindakan yang memperbarui.
Ini menjadi jelas, bahwa kedirian dari humanitas manusia dinyatakan oleh kasih ilahi yang kreatif dan menebus. Allah adalah kasih, oleh sebab itu kasih berasal dari Allah. Karena Allah adalah kasih, maka manusia harus mengasihi manusia sekalipun mereka tidak mengasihinya. Kasih adalah pengorbanan diri dan pengosongan diri (Yun: kenosis) yang meneguhkan kita untuk menderita secara sukarela demi kebenaran, keadilan dan tegaknya martabat manusia. Menderita dalam kasih dapat menjadi kekuatan sosial yang kreatif.
Jika kasih sebagai prinsip gereja dalam menegakkan HAM, maka kekerasan (violence) adalah jalan yang tidak bermoral dan tidak kreatif. Kekerasan tidak kreatif sebab kekerasan hanya melahirkan kehancuran yang terus-menerus bagi umat manusia. Kekerasan juga tidak bermoral karena kekerasan hanya menghancurkan martabat manusia dan penghinaan atas harkat manusia daripada menobatkan.
Kekerasan hanya menimbulkan kebencian daripada kasih, dan menghancurkan komunitas daripada persaudaraan umat manusia. Secara historis dan sosial, sudah terbukti bahwa kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah-masalah HAM, sebab kekerasan hanya menciptakan masalah yang baru dan lebih rumit dalam masyarakat. Gereja harus berpegang pada prinsip ini, bahwa metode yang destruktif tidak pernah menghasilkan akhir yang konstruktif, karena tujuan menjadi pre-existent dalam alat/ metode.
Dengan basis teologis tersebut, gereja harus menggunakan metode nonviolent dalam menegakkan HAM. Juga gereja jangan memisahkan tujuan dan alat, sebagaimana juga isi dan bentuk. Kasih harus menjadi prinsip utama bagi gereja, sebab alat harus semurni tujuan – alat dan tujuan harus ada bersamaan. Instrumen terbesar adalah instrumen kasih sebagai senjata yang paling utama dan maha luhur.
Kekerasan tidak pernah menghasilkan tatanan baru, keadilan dan penegakkan HAM bagi semua umat manusia. Sebaliknya, tanpa kekerasan akan menghasilkan kehidupan yang sejati, keadilan, kebebasan dan harkat manusia. Oleh sebab itu prinsip tanpa kekerasan (nonviolent) memiliki kekuatan untuk mentransformasi musuh menjadi sahabat. Ini adalah jalan kasih untuk mewujudkan martabat manusia dari penindasan, diskriminasi rasial, agama, seksual maupun ketidakadilan sosial. Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh James Cone, bahwa prinsip tanpa kekerasan menjadi lebih dari sekedar cara yang praktis bagi orang yang tertindas untuk mencapai keadilan, tetapi juga menjadi cara/ jalan hidup, komitmen total manusia.
Kita juga dapat melihat karakteristik prinsip kasih dan tanpa kekerasan, sbb.:
Perlawanan tanpa kekerasan bukanlah metode bagi orang-orang yang takut, tetapi ini adalah perlawanan. Jika seseorang menggunakan metode ini hanya karena ia takut atau karena kekurangan instrumen kekerasan, maka ia bukanlah orang yang pembela anti kekerasan yang sejati. Metode ini secara fisik adalah pasif, tetapi secara spiritual sangat aktif dan kuat. Metode ini adalah perlawanan tanpa kekerasan yang aktif melawan kejahatan, dan bukan perlawanan pasif terhadap kejahatan.

Anti kekerasan adalah metode yang tidak mencari untuk mengalahkan atau mempermalukan lawan, tetapi untuk memenangkan persahabatan dan menegakkan martabat manusia.

Serangan lebih diarahkan/ difokuskan melawan kekuatan-kekuatan jahat daripada melawan orang-orang yang melakukan kejahatan. Yang sedang diperangi adalah kejahatan dan bukan orang yang menjadi korban atau dikuasai kejahatan.

Perlawanan tanpa kekerasan menghindari bukan hanya kekerasan fisik eksternal tetapi juga kekerasan spiritual internal. Pejuang nonviolent bukan hanya menolak membunuh lawannya tetapi juga menolak membenci lawannya.

Prinsip tanpa kekerasan didasarkan pada keyakinan bahwa dunia berpihak pada keadilan dan HAM. Konsekuensinya ialah bahwa orang-orang yang percaya pada metode ini memiliki iman yang kuat tentang masa depan yang lebih baik.

Agenda Yang Harus Dikerjakan Oleh Gereja Untuk Penegakan HAM Dan Mentransformasi Budaya Kekerasan, Sbb:
Informasi
Gereja dan Lembaga Kristen dapat menyampaikan masalah-masalah atau penegakan HAM kepada masyarakat moderen dengan cara-cara yang imajinatif, prophetis dan membebaskan serta menolong mereka yang lemah dan terbungkam supaya dapat didengar dan diperhatikan hak hidupnya oleh pihak lain. Sudah waktunya buletin-buletin rohani atau pelayanan lembaga Kristen dapat memuat atau mengintroduksi masalah-masalah pembangunan HAM, dan tanggungjawab warga serta masyarakat terhadap penegakkan dan perlindungan HAM, termasuk di dalammnya anti diskriminasi dalam hal suku, agama, ras dan antar golongan. Itulah sebabnya GKJ Dagen-palur membangun Komisi Hukum dan HAM, Komisi Pemberdayaan Perempuan, Koperasi, Devisi Keuangan Mikro dan sebagainya, supaya gereja dapat menegakkan keadilan, martabat dan Hak Asasi manusia dalam semua aspek kehidupan.
Reunifikasi
Dalam penegakkan HAM, gereja dan lembaga pelayanan Kristen dapat melakukan reunifikasi dengan LSM dan Universitas-universitas maupun Lembaga-lembaga Pelayanan Hukum, ekonomi, budaya dan sebagainya, serta mengkonsolidasi seluruh visi dan misi pelayanannyademi keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Semua lembaga tersebut harus membebaskan diri dari ikatan struktur kekuasaan yang membutakan kita dan menjadikan kita alat dalam penghancurannya, apalagi penghancuran harkat dan martabat manusia. Bahkan sudah saatnya reunifikasi lembaga-lembaga tersebut dengan perjuangan masyarakat menciptakan keadilan, dan perdamaian sejati.
Inilah saatnya bagi gerakan oikumenis bagi gereja dan lembaga pelayanan Kristen secara kualitatif untuk menyuarakan visinya tentang semua orang yang hidup di dunia dan memperhatikan ciptaan sebagai keluarga yang di dalamnya setiap anggotanya mempunyai hak yang sama untuk memperoleh kepenuhan hidup. Kita tidak dapat bertindak dan berpikir secara dikhotomi lagi, yang memisahkan perjuangan Gereja dengan Lembaga-lembaga pelayanan lainnya maupun Universitas, yang mungkin dianggap sekuler.
Gereja tidak bisa angkuh lagi, seolah-olah dapat bekerja sendiri menegakkan HAM. Gereja harus bekerjasama dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Universitas-universitas, Pusat-pusat Studi, Lembaga Keuangan Mikro, Koperasi, bahkan Partai Politik yang memiliki agenda politik penegakkan HAM. Kita tidak bisa lagi berpikir dikotomik dan antagonistik, yang memisahkan gereja dengan lembaga-lembaga lainnya.
Ingat! Siapa yang mendapat Nobel Perdamaian Tahun ini? Bukan tokoh rohaniawan dari gereja, tapi Prof. Dr. Mohammad Yunus seorang muslim dari Banglades yang memimpin Grameen Bank (Bank Pedesaan) ia memperjuangkan hak-hak ekonomi orang-orang miskin sejak 1970-an. Kini dunia mengakui dia sebagai pejuang HAM sekalipun bekerja di sektor ekonomi. Teolog-teolog dan Pendeta-pendeta jangan congkak, seringkali merasa suci tetapi tidak melakukan apa-apa!!
Terinspirasi dengan perjuangan sang Pemenang Nobel Perdamaian ini, komunitas GKJ Dagen-Palur telah memiliki 3 (tiga) lembaga keuangan mikro, yaitu: Koperasi Anugrah, Koperasi Pelita Buana Artha dan Devisi Keuangan Mikro (DKM) Insedcot untuk memperluas pelayanan.
Forum-forum
Gereja dapat menjadi inisiator untuk mengadakan forum-forum mengenai penegakan dan perlindungan HAM, serta dilema kehidupan yang dialami masyarakat. Forum-forum ini juga harus dilakukan di tingkat lokal, baik dalam pusat-pusat latihan atau Jemaat-jemaat. Issue-issue yang dapat didiskusikan, misalnya saja:

Masalah kemiskinan yang parah serta berkembangbiaknya perkampungan kumuh.Bagaimana gereja dapat memberitakan kabar baik bagi orang miskin.
Masalah air bersih, udara bersih dan lingkungan hidup yang bersih adalah hak asasi manusia. GKJ Dagen-Palur mendirikan Komisi Pedesaan & Perkotaan untuk mengengembangkan teologi bumi dari umat.
Masalah sampah organik (sampah-sampah) atau kimiawi (limbah pabrik dan rumah Tangga) serta daur ulang yang tidak membahayakan hidup manusia.
Masalah pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development).
Penghapusan diskriminasi dalam segala aspek kehidupan bangsa.
Anti kekerasan dan penyiksaan
Penyiksaan terhadap TKI maupn TKW
Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dialami perempuan dan anak-anak.
Pemanasan global dan kehancuran planet bumi.
Dsb.

Membentuk Satgas-Satgas
Gereja dan Lembaga Pelayanan Kristen dapat memelopori membentuk satgas-satgas yang committed terhadap penegakkan dan perlindungan HAM, baik di tingkat lokal, regional maupun nasional untuk menjadi nara sumber yang terdidik dan melakukan pembelaan-pembelaan politik atau sosial. Kelompok-kelompok ini dapat menolong jemaat dan masyarakat melakukan gerakan penegakkan dan perlindungan HAM.

Pusat-pusat Studi Masalah Hak-hak Asasi Manusia
Gereja maupun Lembaga Pelayanan Kristen secara bersama-sama dengan lembaga lainnya dapat membangun pusat-pusat studi masalah HAM di tingkat jemaat, lokal dan regional. Ini dapat dilakukan dengan membangun gedung dan pusat studi dimana informasi tentang masalah HAM dapat disebarluaskan dan bahan-bahan tertulis (seperti brosur) tersedia dan mudah dimengerti oleh jemaat atau masyarakat dari lapisan manapun.
Peristiwa Mei 1998, yang berkaitan dengan pembakaran gereja maupun sekolah-sekolah Kristen justru telah menyadarkan gereja. Gereja selama ini hanya membangun dirinya sendiri. Ia hanya megah sendiri. Menciptakan sekolah favorit yang mahal dan hanya orang-orang kaya yang dapat menikmatinya. Namun, masyarakat sekitarnya tidak merasakan manfaat apa-apa dari gereja dan sekolah Kristen yang besar dan megah ini! Apa hasilnya? Yang masyarakat menghancurkannya, toh sama saja bagi mereka.
GKJ Dagen-Palur harus bergerak dan melayani semua manusia. Kita membantu masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya, pendidikannya, serta pelayanan-pelayanan yang membangun kapasitas mereka. Komisi Lintas SARA GKJ Dagen-Palur telah masuk dalam “PEACE BUILDING DIRECTORY INDONESIA”, den memiliki jaringan dengan lembaga-lembaga sejenis di tingkat nasional dan internasional. Komisi Hubungan Nasional dan Internasional GKJ Dagen-Palur, INSEDCOT, Yayasan Pralenen Sana Kawekas, Komisi Pendidikan & Beasiswa, Koperasi Anugrah maupun Pelita Buana Artha adalah alat gereja untuk melayani umat manusia dan menerjemahkan Injil ke dalam bahasa umum.
Pelayanan GKJ Dagen-Palur juga harus melihat konteks sosiologis dan geogtrafisnya, supaya pelayanannya memiliki pegangan sosial-ekonomi dan kebudayaan setempat. Memanfaatkan tehnologi informasi, kita dapat menggunakannya untuk pemetaan wilayah tersebut, sehingga kita bisa menentukan bidang penatalayanan yang dibutuhkan masyrakat.
Kursus-kursus
Gereja, Lembaga Pelayanan Kristen, Universitas Kristen bahkan Sekolah Tinggi Teologia jangan hanya menyediakan kursus-kursus konvensional tentang studi Alkitab, tetapi juga studi keduniaan yang rohani, terutama yang menyangkut masalah perlindungan atau pelanggaran HAM. Oleh sebab itu pendeta atau pengkhotbah dapat ditolong ketika berkhotbah, yaitu Alkitab di tangan yang satu dan buku ilmu pengetahuan di tangan yang lain. Mengapa ? Sebab Allah berbicara juga kepada kita, bukan saja melalui Alkitab, tetapi juga melalui ciptaanNya. Lembaga pelayanan Kristen dapat mengambil inisiatif untuk memperbaiki mutu khotbah-khotbah digereja, yang pada akhirnya berdampak pada mutu pelayanan yang lebih kualitatif. Gereja tidak perlu membentuk Front Pembela Kristen, karena kita justru harus melihat masalah keagamaan dari berbagai perspektif (kedokteran, hukum, sosial, ekonomi, budaya) sehingga agama menjadi sempurna dan lengkap.

Penutup
Gereja harus membuka diri terhadap perkembangan zaman dan kehidupan manusia yang semakin kompleks. Gereja harus membangun pelayanan yang komprehensif, yang melayani manusia multi dimensional (tubuh, jiwa dan roh) serta multi sektoral (ekonomi, sosial, ekonomi, kultural,hukum, politik).
Inilah yang kita sebut SPIRITUALITAS INKARNASI bukan SPIRITUALITAS MENARA GADING. Spiritualitas inkarnasi, artinya Allah sendiri yang Maha Suci dan Mulia, turun ke kubangan dunia, ke tempat orang kusta, pelacuran, kenajisan, dan membawa mereka kembali kepada Allah. Spiritualitas Menara Gading, justru sebaliknya, menarik diri dan membentengi diri serta tidak menerjunkan diri dalam persoalan-persoalan real manusiadan eksklusif.

Menjadi gereja sejati adalah menjadi GEREJA KRISTUS YANG INKARNASI.

Selengkapnya..

Perjamuan Kudus Anak

PERJAMUAN KUDUS BAGI WARGA BAPTIS ANAK

(Membangun Perjalanan Rohani Dan Pengalaman Spiritualitas Anak-anak,Perspektif Praktisi)

Kapan GKJ Dagen-Palur Memulainya?

Pada Perjamuan Kudus Pentakosta 2002
GKJ Dagen-palur pernah mempunyai pengalaman mengadakan perjamuan Kudus dengan model tumpengan dan memperkenankan semua warga jemaat yang telah dipabtis ambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Pengalaman GKJ Dagen-Palur tersebut mendapat perhatian dari GKJ di lingkup Klasis dan Sinode, bahkan menjadi pokok pembahasan, yang pada akhirnya Sinode memutuskan memperkenankan Perjamuan Kudus pada kanak-kanak bagi GKJ yang sudah menyiapkan diri.

Deklarasi Anti Diskriminasi & HAM PBB
Perayaan tersebut juga dimaksudkan untuk menunjukkan komitmen gereja pada perjuangan kemanusiaan yang anti diskriminasi di semua sektor kehidupan manusia dan perlakuan manusia atau institusi sosial, politik, maupun kultural terhadap umat manusia. Pergululan historis ini manjadi akar untuk membangkitkan gereja menggugat segala warisan “rohani” dari para pendahulunya, termasuk warisan Perjamuan Kudus dan sistem di sekitarnya. Hal ini ditempatkan sebagai konteks interpretatif, yang tidak pernah lepas dari kepentingan ideologis-politis, sosial, budaya, gender, dan patriarkalisme yang hidup pada masa perumusan doktrin tersebut.

Hadir dalam konteks kontemporer, maka gereja juga harus melakukan reinterpretasi dan rekontekstualisasi sehingga dapat melakukan reaktualisasi secara eksistensial, sebagai umat yang menjawab pekerjaan Tuhannya. Perjamuan Kudus bagi warga baptis anak, juga adalah proses pendidikan iman yang memiliki kepentingan politik gereja, sosial maupun budaya untuk menciptakan persekutuan komunitas religius yang berbeda secara kualitatif dengan komunitas sebelumnya.

Ratifikasi UU Kesejahteraan dan Perlindungan Anak/ HAM Anak
Perjamuan Kudus bagi anak-anak juga harus kita tempatkan dalam konteks mempromosikan tentang hak-hak religius mereka. Memahami HAM (Hak-hak Azasi Manusia) harus di lihat dari nilai intrinsik dualitas HAM, yaitu HAM sebagai Anugerah Allah dan HAM sebagai Perjuangan/ Proyek Historis manusia.

Ketika kita berbicara tentang HAM, maka kita akan menemukan nilai/ intrinsik dualitas di dalamnya. Di sisi satu, kita percaya bahwa HAM adalah anugerah penciptaan (Kej 1:26,27). Yang dimaksud dengan anugerah (given) adalah nilai yang melekat dalam hidup manusia ketika ia diciptakan/ lahir. Sebagai anugerah/ kodrat (given) dalam penciptaan, maka presuposisi teologis ini mendorong kita untuk mengakui semua manusia, baik Kristen atau Islam, hitam atau putih, Yahudi atau Arab, cacad atau normal, laki-laki atau perempuan, orang tua atau bayi, dsb. adalah sama mulia, berharga, bermartabat, dst Dari sudut pandang ini maka tidak ada satu pihak/ otoritas manapun, baik dalam bentuk lembaga keluarga, gereja, masyarakat, adat atau bahkan negara yang dapat mengklaim sebagai sumber legitimasi HAM dan juga sebaliknya ada yang dapat mengambil/ merampasnya dari manusia. Nilai intrinsik dalam penciptaan adalah HAM melekat dalam penciptaan itu sendiri.

Dari perspektif ini, HAM adalah sebuah konsep egalitarian yang radikal, bahwa semua umat manusia memilikinya dan ini melampaui batas-batas geografis, agama, ras, suku, jenis kelamin, usia, dsb. serta tidak dapat dihapus atau dicabut oleh siapapun dengan cara apapun. Dari konsep ini seharusnya tidak ada pelarangan jenis kelamin, agama, rasial, dan diskriminasi lainnya untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh menjadi presiden, imam, pendeta, ulama, dosen, dsb. Mengapa? Karena nilai HAM adalah intrinsik (nilai yang dibawa/ dimiliki secara natural) dalam diri manusia. Tidak ada satu pihak/ otoritas pun (termasuk agama) yang boleh mengklaim sebagai pemberi atau pelenyap HAM tersebut.

Ketika kita berbicara bahwa bukan orang lain, keluarga, gereja, masyarakat atau negara sebagai sumber/ dasar legitimasi HAM, juga harus kita akui bawa mereka memiliki kekuasaan (power) untuk memperkuat atau melenyapkan HAM. Maka nilai intrinsik dualitas HAM yang lain, selain anugerah (given) adalah bahwa HAM merupakan perjuangan sejarah (historical struggle). Karena ia menjadi perjuangan sejarah, maka HAM juga merupakan sebuah proyek sejarah (historical project). Individu, keluarga, Gereja, agama, LSM, Adat, dan negara, PBB, dsb. memiliki kekuatan dan kuasa untuk memperjuangkan, menegakkan, meningkatkan, dan menjaga HAM supaya nilai intrinsik pertama HAM sebagai anugerah (given) dapat berlaku. Namun di sisi lainnya lembaga-lembaga tersebut juga dapat melenyapkan HAM, merampasnya serta menginjak-injaknya, yang menyebabkan nilai intrinsik HAM sebagai anugerah (given) tidak berjalan/ berlaku. Itulah sebabnya HAM harus terus-menerus diperjuangkan pada level yang berbeda-beda, yaitu dari wacana sampai pada legal-politis.

Kita tidak bisa berhenti pada pengakuan bahwa HAM itu anugerah Tuhan dalam penciptaan, tetapi sekaligus juga harus memperjuangkannya supaya terwujud. Kita percaya bahwa perjuangan melawan penindasan, dominasi, kekerasan, dsb. adalah perlu dan bermakna serta dapat dibenarkan. Oleh sebab itu HAM bukan hanya sebagai sikap pasrah menerima kodrat/ anugerah tetapi juga menjadi perjuangan dan proyek sejarah (historical struggle and project).

Ketika kita berjuang, termasuk melawan tradisi dan doktrin gereja/ agama, adat, negara, dsb. yang melenyapkan HAM, norma manakah yang harus kita utamakan? Apakah kita berpihak pada perjuangan agama kita, karena sekedar pertimbangan bahwa itu adalah agama dan kepercayaan kita? Jika tidak, mengapa kita tidak terlibat? Dalam memperjuangkan HAM sebagai nilai intrinsik perjuangan/ proyek sejarah, kita harus memiliki norma untuk kita tegakkan. Jawabnya adalah jelas, yaitu nilai intrinsik HAM itulah yang menjadi norma utama (Prima Norma), yaitu kemanusiaan yang segambar dengan Pencipta, yang melampaui batas-batas agama, ras, suku, bangsa dan jenis kelamin. Prima norma ini harus berjalan supaya perjuangan menegakkan HAM tidak berjalan sebaliknya tetapi menuju pada nilai intrinsic HAM sejati.

Prima norma HAM ini harus menjadi dasar bagi Gereja untuk melawan dan berjuang atas segala bentuk penindasan, dominasi, kekerasan terhadap manusia yang dilegetimasi oleh agama, ras, suku, bangsa atau seksual. Perjuangan/ proyek historis HAM adalah sebuah proses untuk merevisi, mereinterpretasi serta merekontekstualisasi segala doktrin, kepercayaan maupun perilaku manusia yang hanya menghancurkan/ melenyapkan prima norma HAM.


Kapan Dan Bagaimana Mulai Permanen Diberlakukan ?

Perjamuan Kudus Pra-Paskah 2006 (pasca Sinode non-reguler), 5 Maret 2006 mulai dilaksanakan permanen dan berlanjut dengan Perjamuan Kudus Jumata Agung sampai saat ini.

Secara kategorial dimulai pada pra TK, atau kelas katekisasi A, yaitu kategori di bawah TK, Kelas Katekisasi B (kategori Kelas 1 – 3 SD), kelas Katekisasi C (kategori kelas 4-6 SD), Kelas Katekisasi D (kategori SMP) dan Kelas Katekisasi E (kategori SMA dan pemuda) serta warga dewasa diperkenankan ambil bagian dalam Perjamuan Kudus tersebut, supaya sejak dini mereka dapat mengalami pengalaman-pengalaman keagamaan bersama Allah, melalui sistem kepercayaan umat-Nya.

3 model pelaksanaan, yaitu pertama, integrasi pada kebaktian umum, seperti di gereja Jago, Karanganyar dan Dagen. Mereka mulai di kelas masing-masing, dan pada saat pelaksanaan Perjamuan Kudus mereka masuk ke gereja untuk menerima pelayanan sakramen tersebut. Model Kedua adalah terpisah; yaitu Pelayanan Perjamuan Kudus yang khusus untuk anak & remaja, dilakukan di gereja Perumnas, mengingat jam kebaktian 6.30 terlalu pagi, dan kelas katekisasi dari semua kelas dimulai jam 09.00 WIB. Model ketiga dilakukan bersamaan dengan kebaktian warga dewasa, yaitu di Perumnas pukul 06.30 dan 18.00, mengingat anak-anak yang hadir tidak banyak.


Apa Pertimbangannya?

Latar belakang Perjamuan Kudus dalam tradisi Kristen (gereja purba) adalah Perjamuan malam/ paskah (Ibrani: pesha). Anak-anak sulung orang Mesir akan mati, tetapi anak-anak sulung bangsa Israel akan selamat (Keluaran 12: 29-42) karena ada tanda darah domba di depan rumah mereka. Allah memerintahkan supaya selalu diadakan perayaan paskah, yaitu umat mengorbankan, setiap keluarga seekor anak domba. Peraturan Paskah ini dapat dibaca pada Keluaran 12ff

Perjamuan malam dilakukan di rumah tangga, dan dilayani oleh kepala rumah tangga sambil terus menerus mengajarkan karya penyelamatan Allah atas bangsa Israel (bnd Ul 6). Perayaan ini dilakukan selama tujuh hari berturut-turut dan memakan roti yang tidak beragi (Keluaran 12: 15).

Warisan lisan ini sebagai sebuah metode pengajaran agama supaya setiap generasi selalu memegang teguh atas “kredo historis” (pengakuan iman) bahwa Allah sendirilah yang telah menyelamatkan mereka. Perjamuan malam dilakukan di rumah tangga, dan dilayani oleh kepala rumah tangga sambil terus menerus mengajarkan karya penyelamatan Allah atas bangsa Israel (bnd Ul 6). Perayaan ini dilakukan selama tujuh hari berturut-turut dan memakan roti yang tidak beragi (Keluaran 12: 15).


Sejarah berlanjut, yaitu Pada jaman Gereja Purba, sebelum terjadi schisma ke-1 (kira-kira abad ke-10 dan 11) antara Orthodox Timur (pusatnya di Yunani) dan Barat (Pusatnya di Roma atau Katolik Roma), Perjamuan Kudus pada anak-anak biasa dilakukan dan menjadi tradisi keagamaan yang umum dilakukan mereka.

Setelah perpecahan tersebut, Gereja Katolik Roma tidak memberlakukan, sedangkan Gereja Orthodoks Timur meneruskan tradisi Gereja Purba. Sampai saat ini Gereja Orthodoks Timur tetap menyelenggarakan perjamuan kudus pada anak-anak Namun setelah schisma ke-1 tersebut, gereja orthodoks Barat (Roma Katolik) melarang Perjamuan Kudus pada kanak-kanak karena dasar teologisnya adalah “Transubtansiasi” (roti dan anggur bukan simbol tetapi realitas tubuh dan darah Kristus) bahwa Perjamuan Kudus adalah cara menyelamatkan jiwa. Anak-anak yang tidak atau belum mampu mengerti dan mengambil tanggungjawab iman secara penuh, belum boleh ikut perjamuan kudus, kecuali keadaan darurat/ yaitu ketika anak sedang menghadapi sakratul maut.

Calvin memahami bahwa Perjamuan Kudus hanya sebagai simbol/ lambang dan bukan realitas ilahi (baca: realitas tubuh dan darah Yesus), dan tidak mempunyai daya menyelamatkan; sebaliknya hanya dengan anugerah (sola gratia). Sekalipun bukan sebagai realitas dan hanya simbol tetapi bukan simbol kosong, dengan Perjamuan Kudus Tuhan sungguh hadir kembali (represent)- transendensiasi. Inilah yang terus menyatukan kita dengan Kristus (1 Kor 10:16,17). Sekalipun presuposisi teologisnya berbeda dengan Katolik Roma,namun secara praktis tetap mengikuti tradisi Katolik Roma, yaitu tidak memberlakukan Perjamuan Kudus pada anak-anak.


Bagaimana Kita Harus Melakukan Reinterpretasi?

Mulai dari pandangan Calvin tentang Baptisan anak ( Paedobaptism), yang secara jujur Calvin mengakuinya bahwa ia tidak dapat menghindarinya. Tradisi doktrinal dan praktek perjamuan kudus dari gereja Katolik Roma diterima sebagai kenyataan historis yang memang tidak bisa dihindari.

Menurut Calvin, baptisan anak bukan perintah Allah, tetapi hanya presuposisi telogis manusia dan diterima dalam prakteknya. Baptis anak sebagai tanda janji spiritual, sama seperti sunat (Ef 2: 11), ia dimaterai dan diadopsi masuk ke dalam sebuah komunitas keagamaan. Baptis dan sunat sama, yaitu sebagai tanda yang menghubungkan.

Mat 19: 13ff bukan legitimasi teologis anak-anak harus dibaptis, tetapi Kristus meminta murid-murid-Nya supaya anugerah dan berkat diperluas kepada anak-anak dan tidak dibatasi pada orang tua saja.

Perjamuan Kudus pada anak-anak adalah terutama merupakan perjalanan rohani anak-anak untuk menerima berkat dan anugerah, “karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” ( anak-anak diikutsertakan dalam setiap pergaulan dan pengalaman dengan Kerajaan Allah).

Tidak boleh ada pihak termasuk gereja menghalang-halangi hak mereka untuk bersekutu dan menerima berkat serta anugerah dari Kristus, serta persekutuan dengan tubuh dan darah Kristus (I Kor 10: 16,17).

Anak-anak harus menerima benefit dan perlindungan dari doa dan pengalaman keagamaan orangtua mereka, termasuk komunitasnya.


Orthodoxia menuju Orthopraxia

Kategori dogmatis menuju kategori etis
Yang jauh lebih penting bagi anak-anak dalam fase pertumbuhan imannya bukanlah seberapa besar pemahaman mereka atas rumusan-rumusan dogmatisnya, melaikan secara operasional dapat mengubah dan menginternalisasi nilai-nilai sakramental Kristus melalui Perjamuan Kudus yang mereka alami. Ini menjadi tugas warga dewasa untuk menerjemahkan nilai-nilai sakramental tersebut menjadi sesuatu yang operasional, dan bukan terutama tugas anak-anak untuk memahami secara sistematis rumusan-rumusan dogmatis tersebut. Kita mulai menerjemahkan tindakan pengorbanan Kristus dengan membagikan celengan kepada anak-anak supaya mereka rela berkorban berbagi kebahagiaannya kepada anak-anak yang tidak mampu. Uang tersebut dipersembahkan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu.

Output dari Perjamuan Kudus bagi anak-anak, terutama bukanlah pemahaman yang lengkap dari anak-anak tentang rumusan sistematis dogma Perjamuan Kudus, tetapi lebih penting adalah perobahan perilaku anak yang secara operasional dapat mengikuti pengorbanan Kristus. Rumusan sistematis yang filosofis-teologis menuju praktek iman yang operasional dalam kehidupan sehari-hari mereka. Nilai perjamuan kudus menjadi hidup dalam kehidupan anak-anak.

Tindakan Yesus adalah tindakan yang sakramental, bukan perjamuan kudus an sich.
Perjamuan Kudus hanya sebuah simbol dari tindakan sakaramental Yesus Kristus. Mungkin saja ada simbol-simbol lain yang dapat digunakan dalam tradisi-tradisi lokal yang dapat dipakai untuk mensimbolisasi tindakan sakramental Yesus Kristus. Oleh sebab itu, energi jangan terlalu dihabiskan untuk mengerjakan simbol tersebut, tetapi lebih kepada mempraktekkan nilai-nilai yang ada dalam simbol tersebut. Fokus utama kita haruslah tindakan sakramental Kristus yang harus dipahami dan dipraktekkan oleh seluruh orang percaya, bukan pada simbolisme dan ritualisme yang kering dan hampa. Yang suci dan tanpa dosa bukan perjamuan Kudusnya itu sendiri, tetapi tindakan sakramental Yesus Kristus itu sendiri yang digambarkan dalam Perjamuan Kudus. Oleh sebab itu anak-anak justru diajak masuk ke dalam Perjamuan Kudus tersebut supaya sejak dini mereka dapat mengenal dan menghampiri Yang Suci, Sang Sakral, yang berkorban – Yesus Kristus. Dari ritual-kultural menuju nilai kehidupan.

Selengkapnya..

Diakonia Transformatif

DIAKONIA TRANSFORMATIF DAN RESTRUKTURISASI GKJ DAGEN PALUR

(Suatu usaha reaktualisasi dan rekontekstualisasi ajaran cinta kasih Yesus untuk pelayanan GKJ Dagen-Palur memasuki abad XXI)


Pendahuluan
Pemahaman gereja tentang diakonia sangatlah tradisional. Artinya banyak orang Kristen mengerti diakonia hanya seperti yang dilakukan oleh gereja selama ini, secara tradisional. Asal sudah ada diaken yang duduk sebagai majelis dan program kerja yang terus-menerus mengulangi bentuk diakonia yang sudah berlangsung puluhan, bahkan ratusan tahun (seperti jimpitan beras, pakaian pantas pakai, dsb), ya berarti gereja sudah melakukan diakonia. Namun, apakah ini makna diakonia sesungguhnya? Pada tulisan ini, kita akan mempelajari bahwa sebenarnya kita tidak hanya memiliki satu model diakonia gereja. Juga kita akan menyoroti bagaimana diakonia dipahami dalam Perjanjian Lama dan Baru, sehingga gereja dapat menangkap esensi pelayanan tersebut dan mengimplementasikannya secara kontekstual.

Sorotan teologis ini penting sebagai dasar bagi gereja, khususnya GKJ Dagen-Palur, mengapa gereja perlu melakukan bentuk-bentuk pelayanan yang berbeda dengan bentuk diakonia tradisional, dan juga mengapa kita perlu membangun infrastrukturnya (yang tercermin dalam restrukturisasi) untuk menguatkan pelayanan tersebut. Restrukturisasi ini bukan bentuk show of force (alias pamer kekuatan), tetapi Gereja secara sadar melakukan tindakan-tindakan antisipatif untuk menjawab apa yang akan terjadi dalam masyarakat kita pada abad ke-21. Tindakan antisipatif adalah tindakan pendahuluan yang dilakukan sebelum sesuatu terjadi, dan lawannya adalah tindakan reaktif. Yaitu tindakan yang dilakukan terhadap sesuatu sudah dan sedang terjadi. Tindakan antisipatif adalah tindakan seperti pepatah “sedia payung sebelum hujan,” yang berfungsi untuk menyiapkan diri kita untuk melakukan secara efektif dan efisien tugas-tugas pelayanan gereja abad ke-21.

Program-program gereja yang sudah merambah ke aspek-aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial, hukum, politik maupun manajemen harus disiapkan juga wadah organisasinya seperti Komisi Kebijakan Publik dan Lintas SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), Pelayanan Pedesaan dan Perkotaan, Pelayanan Hukum, Hubungan Nasional dan Internasional, Pastoral dan Konseling, Pengembangan Dana Gereja, dsb. Itulah alasannya, mengapa GKJ Dagen-Palur harus melakukan tindakan-tindakan antisipatif dalam bentuk restrukturisasi dan pengembangan potensi wilayah. Semua ini kita bangun dari dasar pemikiran bahwa diakonia gereja harus bergerak dari diakonia karitatif menuju diakonia transformatif.

Supaya kita memiliki pemahaman dan pengalaman bergereja secara kontekstual dan transformatif, maka perlu dirasa oleh Majelis GKJ Dagen-Palur untuk mensosialissi dasar teologis diakonia dan sorotan historis atas praktek diakonia gereja tersebut, sehingga kita dapat menjadi gereja yang tidak anakronistis (bertentangan dengan sejarah atau zaman). Gereja tidak boleh menjadi meseum rohani, tetapi ia adalah salah satu alat yang Allah pakai untuk menyatakan Kabar Keselamatan bagi semua umat manusia.


Diakonia: Pemahaman Dalam Perjanjian Lama Dan Baru

J.C. Sikkel mengatakan bahwa “The church can live without buildings. Without diakonia the church dies.” Secara teologis ini berarti, bahwa diakonia adalah nafas gereja. Ia baru menjadi gereja bila ia melakukan diakonia.
Diakonia berasal dari bahasa Yunani yaitu diakonein. Diakonein berarti “melayani meja”, “melayani kebutuhan-kebutuhan fisik” dan “menyiapkan makanan sebagai korban kepada dewa-dewa.”
Kemudian hari arti diakonein berkembang menjadi melayani dalam arti umum. Diakonia adalah tindakan dari diakonein, sedangkan diakonos adalah orang yang melakukan diakonia.
Dalam konteks sosio-kultural pada waktu itu, fungsi diakonia adalah fungsi yang rendah. Pelayan harus melayani orang lain yang lebih terhormat atau tinggi kedudukannya. Yang dilayani lebih terhormat daripada yang melayani – logis. Pertanyaan yang terpenting adalah, bagaimana seseorang dapat berbahagia dengan melayani orang lain? Mengapa melayani menjadi tugas imperatif (keharusan) bagi orang Kristen?
Di sinilah kita akan menemukan makna baru dari diakonia, yaitu Yesus telah memberi arti teologis pada diakonia. Pernyataan Yesus dalam Yohanes 13:34 – perintah baru untuk mengasihi orang lain seperti Yesus mengasihi kita.
Melalui praksis-Nya -- aksi dan refleksi, Yesus memberi bobot teologis pada fungsi diakonia. Dari perspektif ini, norma utama diakonia Kristen bukanlah pelayanan kita, tetapi pelayanan dan kasih Yesus kepada kita, yang pada akhirnya menjadikan kita subyek yang mampu mengasihi dan melayani orang lain. Tidak ada orang yang dapat mengasihi orang lain, tanpa terlebih dahulu dikasihi. Itulah sebabnya mengapa Yesus meminta para murid-Nya untuk melayani apabila ingin menjadi besar dan terkemuka di antara mereka (Mat. 20:26). Prototype (contoh awal) pelayanan yang sejati adalah Yesus – Allah yang melayani umat manusia. Pelayanan ini bukan supaya manusia menjadi pengemis kasih, tetapi sebaliknya menjadi subyek yang mengasihi.
Itulah sebabnya mengapa istilah diakonein, diakonia dan diakonos sangat sering muncul dalam Perjanjian Baru. Menurut M. Barnett dalam PB kita dapat melihat tiga penggunaan yang berbeda dari istilah tersebut, yaitu:

Istilah tersebut mempunyai arti umum, yaitu pelayanan, tetapi kemudian mempunyai makna khusus ketika Yesus mengidentifikasi bahwa kedatangan-Nya ke bumi sebagai diakonein (=Anak Manusia datang untuk melayani, Mat. 20:26). Sikap ini adalah sangat fundamental yaitu sebagai peringatan melawan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Mempunyai makna khusus, yaitu fungsi atau tugas gereja.
Lebih spesifik dari butir dua adalah pelayanan kepada orang miskin.

Istilah pelayan selalu diwarnai dengan sesuatu seperti dari siapa pelaku menerima mandat atau misinya dan bagaimana pemberi perintah menilai tugasnya sendiri dan tugas pelayannya. Diakonia gereja telah dikehendaki oleh Yesus sendiri, yang kehidupan-Nya telah diwujudkan untuk melayani. Di sini kita lihat filsafat hidup-Nya, yaitu sikap dan aktivitasNya kepada orang-orang kecil yang dengannya Ia mengidentifikasikan diri (Mat. 25). Dalam PL, orang-orang kecil diidentifikasi sebagai orang yang kelaparan, telanjang, asing, tawanan, dsb. yang tidak memiliki basis ekonomi, apalagi politik.
Dalam PL kita melihat bahwa Allah melihat dan mendengar korban perbudakan dan ketidakadilan yang menyebabkan mereka menderita (Kel. 3:7). Melalui keadilan dan kemurahan-Nya Ia memberi pembebasan. Dalam PL, Allah juga adalah agape (kasih yang tidak bersyarat), menderita dengan para korban ketidakadilan. Ia mengutus para nabi untuk berbicara kepada umat (tentang apa yang telah Allah perintahkan kepadanya). Yaitu hanya satu, berbuat adil, setia dan bijaksana di hadapan Allah (Mikha 6:8). Kebenaran (tsedaqah) dalam Torat juga memainkan peranan sentral dalam hukum kasih yang Yesus ajarkan. Dalam hukum kasih (Mat. 22: 37-39), tsedaqah memainkan peranan penting, sehingga hukum kedua tidak melulu melibatkan humanisme atau kasih kepada sesama, tetapi hukum tersebut menuntut suatu kualitas kehidupan dan belas kasih yang membawa kepada shalom (damai sejahtera).
Kita dapat melihat praktek-praktek diakonia dalam PL dan PB, misalnya larangan membebankan bunga kepada fakir miskin (Kel 22: 25). Juga hukum yang melindungi supaya orang tidak menjadi miskin, yaitu peraturan tahun Sabat dan yobel (Imamat 25). Dalam peraturan tersebut jelas kaitan antara norma-norma sosial dan motivasi-motivasi religius saling mendukung untuk mentransformasi struktur sosial-ekonomi masyarakat. Asumsi teologisnya adalah, bahwa Allah adalah Pembebas yang telah membebaskan umat-Nya supaya mereka juga membebaskan sesamanya.
Dalam Yeh. 22: 12 Allah menghukum mereka yang mencatut dan memberi bunga atas pinjaman yang diberikan kepada orang miskin, karena iniberarti penindasa terhadap yang lain untuk kepentingan sendiri dan melupakan Tuhan. Nabi-nabi juga mencela pembagian tanah yang tidak adil, di mana para penguasa merampas tanah rakyat dan mengusir mereka ke perbatasan (Hosea 5:10; bnd. Yes. 5:8).
Kita dapat mencari contoh-contoh lain yang menggambarkan praktek diakonia dalam PL dan PB, seperti perlindungan pada janda dan yatim piatu serta orang asing (Im. 25: 35-55). Peraturan untuk menyisihkan hasil panen, dan tidak disikat habis adalah supaya orang-orang miskin dapat memungutnya (ingat ceritera Boas dan Ruth). Larangan menjual tanah warisan dan peraturan tahun Yobel untuk melindungi orang kehilangan prasyarat untuk hidup. Tanpa tanah manusia tidak akan bisa hidup dengan damai (Im. 25:33-34). Peraturan persembahan perpuluhan yang diberikan untuk Bait Allah, selain untuk mendukung kehidupan para imam atau suku bangsa Lewi, juga untuk menolong orang-orang miskin (Ul. 14:22-29). Begitu juga dalam Kisah rasul diceriterakan para pengikut Kristus menjual tanah dan harta miliknya serta memberinya kepada para Rasul untuk didistribusikan kepada orang-orang yang kekurangan.
Satu hal yang penting yang perlu kita catat adalah, bahwa diakonia telah mempunyai makna teologis yang sangat dalam. Dalam PL tindakan Allah membebaskan umat-Nya yang tertindas adalah tindakan melayani (diakonein), sedangkan dalam PB kedatangan Yesus ke dunia adalah bertujuan untuk melayani (diakonein). Jadi diakonia adalah suatu tindakan yang berorientasi kepada tindakan Allah yang menyelamatkan sehingga manusia akan menemukan kehidupan yang sejati sebagai gambar Allah.
Tentu kita yang hidup dalam zaman moderen ini tidak dapat mengambil alih begitu saja praktek diakonia dalam PL dan PB untuk masa kini. Kita hidup dalam sistem sosio-kultural dan politik serta religius yang berbeda sekali. Itulah sebabnya kita memerlukan suatu metode hermeneutik untuk menjembatani masa lampau dengan sekarang. Misalnya, Yesus dan para pengikut-Nya mula-mula hidup dalam sistem sosial dan politik di mana lembaga pengontrol dan legislatif tidak ada, sehingga penyelenggara negara mempunyai kuasa absolut untuk menentukan segala peraturan. Contoh lain yaitu, bahwa ajaran atau sistem sosial Yesus adalah sosiologi pedesaan dan belum merupakan masyarakat kompleks seperti sekarang.


MODEL-MODEL DIAKONIA

Berdasarkan asumsi teologis di atas, maka diakonia sebenarnya, tidak dimonopoli oleh gereja. Diakonia juga dilakukan oleh lembaga-lembaga lain yang mempunyai motivasi membangun kehidupan manusia yang berbeda secara kualitatif. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Yayasan Yatim Piatu, misalnya adalah salah satu lembaga yang juga menyelenggarakan praktek diakonia kepada masyarakat luas tanpa batas-batas agama, golongan, suku, dsb. Sekalipun praktek diakonia itu dilakukan dengan motivasi religius sebagai panggilan iman untuk mewujudkan dunia yang damai dan sejahtera, bebas kejahatan, penderitaan dan kelaparan – pengharapan kedatangan Kerajaan Allah.
Berdasarkan karakteristik diakonia, maka kita dapat mengenal tiga model diakonia, yaitu: diakonia karitatif, reformatif dan transformatif.

DIAKONIA KARITATIF

Model diakonia ini adalah model yang secara tradisional dilakukan oleh gereja-gereja sampai saat ini juga. Asumsi teologisnya adalah, bahwa gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya mendapat tritugas, yaitu bersekutu (koinonia), bersaksi (kerygma), dan melayani (diakonia). Dari perspektif tradisional ini, persekutuan hanya diartikan sebagai persekutuan orang-orang Kristen (baca: telah dibaptis) atau gereja. Kerygma hanya terutama ditujukan kepada orang-orang yang dianggap kafir (non-Kristen). Sedangkan diakonia dimengerti sebagai tindakan-tindakan amal/ karitatif orang Kristen, baik kepada orang-orang seiman ataupun kafir dengan tujuan percaya kepada Yesus (missionary motive). Walaupun sebenarnya motif seperti ini juga dimiliki oleh kelompok lain, termasuk juga partai politik (political motive).
Pelayanan gereja terutama pada tindakan-tindakan karitatif/ amal. Matius 25: 31-46 dipakai oleh gereja untuk menguraikan bentuk diakonia ini. Sampai sekarang bentuk karitatif sangat populer di kalangan gereja karena mudah dan langsung bisa dirasakan pertolongannya, walaupun tidak mendasar atau memecahkan masalah. Misalnya memberi beras, pakaian pantas pakai, warung nasi murah, uang, dsb.

Ciri-ciri diakonia karitatif adalah sebagai berikut:

Dilakukan tanpa analisa sosial-politik penyebab kemiskinan, atau mengapa penderita mengalami sesuatu .

Bantuan yang diberikan langsung, bisa dirasakan atau diterima oleh si korban. Model bantuan ini tidak dialogis dan malahan menciptakan relasi ketergantungan subyek (pemberi) – obyek (penerima). Paulo Freire mengatakan model ini hanya cocok untuk hewan. Seekor anjing hanya menerima terus makanan dari tuannya, tanpa pernah anjing tersebut menjadi pelaku sejarah (historical subject).

Hanya cocok untuk membantu korban-korban bencana alam tetapi tidak cocok untuk menyelesaikan masalah sosial yang berakar pada sistem dan struktur sosial, misalnya kemiskinan, penindasan, perampasan tanah, dsb.

Model diakonia ini sering didukung penguasa karena mempertahankan status quo atau melanggengkan kekuasaan. Dengan banyak menolong, mereka akan mendapatkan simpati publik dan terlihat kedermawanan si pemberi, bahkan untuk maksud politis (political motive) sering diekspose secara besar-besaran.

Diakonia karitatif sangat gencar dilakukan karena dilakukan dengan maksud-maksud yang sangat sempit, seperti si korban akan pindah agama, mendukung partai, dsb.

Hanya mengandalkan kekuatan moral orang kaya untuk memberikan sebagian kecil miliknya untuk mengurangi kemiskinan, dan tidak menolong orang-orang miskin menyelesaikan masalahnya sendiri. Akhirnya kemiskinan tidak dapat dihindari karena kondisi si miskin yang terbatas.

Model ini sangat berakar dalam pertumbuhan gereja, termasuk masa kini karena model ini sangat mudah dan akibatnya bisa langsung dilihat. Terutama di kota-kota besar, kita dapat melihat bangunan gereja yang sangat megah dan mewah, bahkan menyaingi gedung-gedung moderen, tetapi banyak gereja tersebut yang tidak mempunyai program atau dana sosial (social cost) untuk membantu program pemberantasan kebodohan, kemiskinan, penindasan, pembelaan hukum, dsb.
Analogi model diakonia ini adalah kalau ada orang lapar, berilah roti dan ikan, suruhlah ia memakannya, dan meminta lagi bila sudah habis.


DIAKONIA REFORMATIF ATAU PEMBANGUNAN

Model diakonia ini lebih menekankan pada aspek pembangunan. Pendekatan yang dilakukan adalah (community development) seperti pembangunan pusat kesehatan, penyuluhan, bimas, usaha bersama simpan pinjam, dsb. Kesadaran ini muncul bagi gereja-gereja untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan pada Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia IV di Uppsala, Swedia, 1968. Pada sidang tersebut DGD membentuk suatu komisi yang disebut Commision on Church’s Participation in Development (Komisi Partisipasi Gereja dalam Pembangunan). Pada sidang itu mulai dipikirkan secara serius masalah diskriminasi, ketidakadilan internasional, tugas-tugas politik gereja, pengembangan pendidikan, dsb. Disamping pembinaan spiritual.
Sejak Sidang Raya Dewan Gereja Dunia di Uppsala, diakonia gereja mulai bergeser dari diakonia karitatif ke diakonia reformatif, termasuk gereja-gereja di Indonesia dalam PGI (dh. DGI) dengan didirikannya Darma Cipta (Development Centre) pada Sidang Raya DGI VII di Pematang Siantar, 1971, yang sekarang menjadi Departemen Partisipasi Gereja Dalam Pembangunan (Deparpem). Tentu saja pelayanan reformatif ini membantu masyarakat dalam menaikkan pendapatan (income) termasuk dalam kategori pendapatan perkapita negara di mata Bank Dunia.
Pemerintah di seluruh dunia, terutama di Dunia III mengintrodusir program-program pembangunan yang berorientasi pada model Barat, yaitu pertumbuhan ekonomi dengan titik berat pembangunan teknologi tinggi. Pembangunan industri dengan teknologi canggih, penggunaan pestisida dalam pertanian, bibit-bibit hybrida, dan menciptakan pasar yang berorientasi pada eksport. Akibat dari pembangunanmodel ini, yaitu banyaknya kota-kota moderen, pabrik-pabrik megah, panen yang menumpuk, hotel-hotel mewah, tetapi tidak dimiliki atau dinikmati oleh masyarakat luas. Bahkan pembangunan tersebut hanya menciptakan kemiskinan dan memperluas gap antara yang kaya (pemilik modal) dengan rakyat. Pertanyaan yang muncul adalah, pembangunan untuk apa dan siapa? Apa yang bisa dinikmati rakyat dari pembangunan? Pembangunan hanya menciptakan kemiskinan, sebab masalah ketidakadilan struktural dan sistem ekonomi, politik serta sosial tidak pernah dipersoalkan dan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

Karakteristik-karakteristik diakonia reformatif adalah sebagai berikut:

Model ini lebih berorientasi pada pembangunan-pembangunan lembaga-lembaga formal, tanpa perombakan struktur dan sistem yang ada. Kalau toh ada, itu hanya pergantian pimpinan dan tidak disertai dengan perombakan struktur dan sistem yang ada. Orang-orang yang dekat dengan struktur paling banyak menikmati keuntungan pembangunan, sedangkan mereka yang jauh selalu menjadi korban pembangunan. Pertanyaan pembangunan untuk siapa, milik siapa adalah pertanyaan yang sangat logis.

Model ini sudah menggunakan analisa sosial-kultural tetapi tidak menggunakan analisa struktural. Analisa ini hanya menolong bagaimana proses pembangunan dapat berjalan lancar tanpa mempertanyakan untuk siapa pembangunan itu dilakukan. Akibat lain adalah mengabaikan sumber kemiskinan, yaitu ketidakadilan, akumulasi modal dan kekayaan pada golongan atau pihak elite tertentu.

Pendekatan pelayanan ini masih bersifat top down (dari atas) dan bukan bottom up (dari bawah). Dalam model ini masyarakat belum sepenuhnya menjadi pelaku sejarah yang menentukan masa depannya sendiri, tetapi hanya menjadi partisipan dalam pelayanan/ pembangunan. Rakyat tidak ikut mengambil keputusan dan bahkan kehilangan hak, tetapi dilibatkan dalam pembangunan/ pelayanan.

Analogi pelayanan reformatif/ pembangunan adalah bila ada orang yang lapar, berilah ia roti, ikan dan pacul atau kail, supaya ia tidak sekedar meminta tetapi juga mengusahakan sendiri. Namun pertanyaan muncul, mereka akan mengail dan memacul di mana bila tanah dan laut sudah dikuasai bahkan dimonopoli oleh pemilik modal atau golongan elite tertentu? Di sinilah diakonia reformatif tidak dapat memberantas akar kemiskinan itu sendiri, yaitu struktur ekonomi, sosial dan politik yang tidak adil.


DIAKONIA TRANSFORMATIF DAN MODEL PEMBEBASAN

Analogi model pelayanan ini ialah, apabila ada orang lapar jangan hanya diberi roti, kail atau pacul tetapi juga hak. Pemberian roti dan pancing serta keterampilan maupun lembaga-lembaga tidak berguna bila hutan, gunung, tanah, sungai dan laut sudah dikuasai oleh pemilik modal atau kelompok tertentu. Industri kayu, industri pariwisata, shoping mall, dsb. Pada kenyataannya telah mempersubur pemilik modal dan bukan rakyat yang memiliki sumber kehidupan tersebut. Dalam level internasional, kekayaan itu lari ke dunia maju, karena mereka memberi hutang dan teknologi kepada negara-negara miskin. Hasil pembangunan pertama-tama lari ke pemilik modal domestik (dalam negeri), kemudian sebagian lagi ke luar negeri. Hasilnya adalah kemiskinan tetap menjadi bagian rakyat.
Model transformatif atau pembebasan dipelopori oleh gereja di Amerika Latin untuk menjawab kemiskinan yang sangat parah di Amerika Latin. Usaha ini adalah redefinisi pengertian tentang gereja (ecclesiologi) dan tritugasnya. Gereja tidak lagi hanya diartikan gedung yang statis, melainkan sebagai gerakan yang terbuka bagi pembaruan dan menjalankan visi Kerajaan Allah. Bukan gereja yang harus menjadi besar, tetapi Kerajaan Allah yang harus hadir dalam kehidupan manusia.
Peranan gereja dalama transformasi masyarakat diarasakan belum optimal, bahkan cenderung mempertahankan status quo (keadaan seperti apa adanya). Berdasarkan kesadaran baru inilah maka teolog-teolog pembebasan merumuskan ekklesiologi (ilmu tentang gereja) yang baru, yang lebih kontekstual. Koinonia tidak lagi dimengerti sebagai persekutuan orang-orang Kristen/ gereja saja. Ini terlalu sempit sebagai persekutuan umat Allah. Koinonia adalah persekutuan umat manusia yang baru, yang hidup dalam kasih Allah, terlepas dari apa yang menjadi agama mereka bnd. Luk. 10:25-37 tentang Orang Samaria Yang Murah Hati). Koinonia adalah cita-cita suatu tatanan hidup manusia yang baru, yang berbeda secara kualitatif dengan masyarakat sekarang. Koinonia bukanlah usaha kembali kepada Firdaus yang hilang, melainkan menciptakan suatu tatanan persekutuan hidup manusia yang berbeda secara kualitatif. Kita tidak perlu menangisi kejatuhan manusia dalam dosa (paradigma Adam dan Hawa) ke dalam dosa, tetapi berusaha menciptakan kehidupan manusia yang berbeda secara kualitatif. Inilah panggilan keselamatan yang Yesus ajarkan kepada pengikut-Nya, supaya mewujudkan kedatangan Kerajaan Allah.
Dalam perspektif ini diakonia dimengerti sebagai tindakan gereja melayani umat manusia secara multi dimensional (roh, jiwa dan tubuh) dan juga multi sektoral (ekonomi, politik, kultural, hukum dan agama). Diakonia bukan lagi sekedar tindakan-tindakan amal (walaupun perlu dan tetap dilakukan) yang dilakukan oleh gereja, melainkan tindakan-tindakan transformatif yang membawa manusia dengn sisten dan struktur kehidupannya menandakan datangnya Kerajaan Allah.
Diakonia bukan hanya berarti memberi makan, minum, pakaian, pembangunan, dst., tetapi bagaimana bersama masyarakat memperjuangkan hak-hak hidup, seperti hak makan, minum, pakaian, nafas, kerja, lingkungan yang sehat, yang telah hilang karena dirampas oleh pihak lain atau yang menindas (oppressor).
Kita butuh nasi, tetapi kita ingin memperolehnya dengan keadilan (justice). Kita butuh nasi, tetapi kita ingin memperolehnya dengan kebebasan (freedom). Kita butuh nasi, tetapi kita ingin memperolehnya dengan martabat dan pengharapan (dignity and hope).


PELAYANAN PEMBELAAN (ADVOCACY)

Pelayanan gereja tidak lagi hanya ditujukan pada pelayanan karitatif/ amal dan rohani saja, tetapi juga pelayanan pembelaan. Pelayanan ini dibutuhkan pada saat ini oleh masyarakat karena kompleksitas masalah dan sistem serta struktur masyarakat yang semakin tinggi. Pelayanan pembelaan jauh lebih dasariah atau radikal (Latin: akar), karena membantu masyarakat mempertahankan prasyarat hidupnya, seperti tanah, hak asasi, hak pendidikan, kesehatan, sosial, lingkungan hidup yang damai, sehat dan bersih.
Gereja seringkali hanya membatasi pelayanan Yesus hanya dalam batas-batas kerohanian dan karitatif saja. Bagaimana hubungan Yesus dengan masalah-masalah sosial-politik (seperti imperialisme Romawi, penindasan, ketidakadilan, militerisme, dsb)? Pertanyaan ini penting karena banyak orang merasa bahwa missi Yesus semata-mata rohani sama sekali tanpa hubungan dengan masalah-masalah material (sosial-ekonomi dan politik).
Kenyataannya, dalam hidup-Nya Yesus banyak bergaul dengan orang-orang miskin dan lemah serta Ia memberi pengharapan bahwa Ia datang untuk membebaskan mereka dari penindasan:

Roh Tuhan ada padaKu oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk. 4: 18,19).

Yesus mengkritik orang-orang kaya yang hidup mewah sementara orang-orang miskin menderita karena perbuatan mereka. Ia mengutuk orang-orang Farisi yang “mengikat beban berat lalu meletakkannya di atas bahu orang tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya” (Mat. 23:4).
Pertentangan-pertentangan ini memperlihatkan kepada kita, bahwa Yesus tidak menyerah secara pasif kepada ketidakadilan dan kejahatan dalam masyarakat-Nya. Ia menentang penyalahgunaan kekuasaan. Ia disalibkan karena pertentangan itu. Seandainya Yesus hanya membicarakan hal-hal rohani yang tidak berhubungan dengan pelayanan pembelaan (baca: masalah sosial, ekonomi, hukum dan politik), maka pemimpin-pemimpin masyarakat (baik agama, sosial maupun politik) tidak takut kepada Yesus. Karena kritik Yesus mengancam kedudukan mereka, maka mereka membunuh-Nya.
Yesus menentang praktek-praktek kekerasan struktural, ketidakadilan, kejahatan, keserakahan dengan jalan menderita (via dolorosa). Pertentangan Yesus bukan hanya kepada pemimpin Roma dan Yahudi saja, tetapi juga cara pemerintahan yang lazim di dunia ini. Yaitu bahwa pemerintahan bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi (Mark. 10: 42-44). Oleh sebab itulah pelayanan yang Yesus berikan adalah pelayanan pembelaan kepada mereka yang tidak mempunyai kekuatan sosial, ekonomi, politik maupun agama.
Yesus mengabdikan diri untuk mendatangkan kedamaian dan keadilan. Ia tidak mau berkompromi dengan kejahatan. Ia menentang orang-orang yang menyalahgunakan kekuasan dan kedudukan serta tidak peduli terhadap nasib orang sengsara. Pelayanan pembaruan yang Yesus kerjakan adalah lengkap dan utuh. Pelayanan pembaruan yang Yesus kerjakan adalah lengkap dan utuh. Pembaruan itu berarti struktur budaya dan hati manusia diperbarui. Kedua unsur itu penting dalam keselamatan yang utuh. Yesus tidak hanya memperhatikan kehidupan individu saja, tetapi juga masyarakat, dan sebaliknya. Yesus memanggil murid-murid-Nya untuk hidup kudus (bnd. Mar. 1:19; Luk. 9:58, 62) –“… serigala mempunyai liang, … tetapi .. setiap orang yang siap membajak, tetapi menoleh ke belakang, tidak layak mengikut Aku ….”


IMPLIKASI PRAKTIS BAGI YAYASAN KRISTEN DAN GEREJA DALAM PRAKSIS DIAKONIA TRANSFORMATIF

Saya akan memberikan beberapa hal yang dapat menjadi agenda bagi Yayasan-yayasan Kristen maupun gereja dalam melakukan pelayanan transformatif dan pembelaan, yaitu:

Liturgisasi

Sudah waktunya bagi lembaga Kristen tidak hanya terlalu sibuk pada pelayanan dan persoalan doktrinal-internal (mis. Konflik ajaran) tetapi melakukan liturgisasi masalah-masalah pembelaan advokasi, seperti masalah-masalah Hak Asasi Manusia. Setidak-tidaknya lembaga Kristen dapat menyatakan sikap seperti:
Menegaskan bahwa hak-hak asasi manusia adalah anugerah Allah, serta manusia harus menjadi subyek historis untuk menegakkannya. Ini bukan hanya hak-hak individu, tetapi juga hak sosial, ekonomi, kebudayaan kolektif rakyat, lingkungan yang bersih dari segala polusi yang beracun, dan termasuk mereka yang tidak mampu, serta memiliki solidaritas terhadap organisasi dan gerakan yang berjuang untuk peningkatan, perlindungan dan penegakan hak-hak asasi manusia tersebut.

Proses Liturgisasi


Informasi

Gereja dan Lembaga Kristen dapat menyampaikan masalah-masalah atau penegakan HAM, keadilan ekonomi-politik, keadilan gender kepada masyarakat moderen dengan cara-cara yang imajinatif, prophetis dan membebaskan serta menolong mereka yang lemah dan terbungkam supaya dapat didengar dan diperhatikan hak hidupnya oleh pihak lain. Sudah waktunya buletin-buletin rohani atau pelayanan lembaga Kristen dapat memuat atau mengintroduksi masalah-masalah pembangunan HAM, gerakan keadilan, gerakan anti penyiksaan, gerakan anti nuklir, dan tanggungjawab warga serta masyarakat terhadap persoalan kemanusiaan tersebut.

Reunifikasi Untuk Aliansi Strategis

Dalam pelayanan transformatifnya, gereja dan lembaga pelayanan Kristen dapat melakukan reunifikasi dengan LSM dan Universitas-universitas maupun Lembaga-lembaga Pelayanan Hukum, serta mengkonsolidasi seluruh visi dan misi pelayanannya demi keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Semua lembaga tersebut harus membebaskan diri dari ikatan struktur kekuasaan yang membutakan kita dan menjadikan kita alat dalam penghancurannya, apalagi penghancuran harkat dan martabat manusia. Bahkan sudah saatnya reunifikasi lembaga-lembaga tersebut dengan perjuangan masyarakat menciptakan keadilan, dan perdamaian sejati.

Skema reunifikasi


(Fakta-fakta)

Mengapa strategi ini harus kita lakukan? Tentu saja supaya Gereja tidak terjebak ke dalam fanatisme buta atau melahirkan nilai-nilai kehidupan yang indah tetapi bersifat naif, tidak efektif diimplementasikan dan dioperasionalisasi ke dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membawa orang Kristen hidup secara utopis-apokaliptis atau ahistoris. Sebaliknya reunifikasi ini juga akan menguntungkan LSM-LSM supaya tidak terjebak dalam pragmatisme dan juga menolong Universitaas supaya tidak konstruktivisme (teori melulu, tanpa pengujian real di lapngan kehidupan).

Inilah saatnya untuk gerakan oikumenis gereja dan lembaga pelayanan Kristen secara kualitatif untuk menyuarakan visinya tentang semua orang yang hidup di dunia dan memperhatikan ciptaan sebagai keluarga yang di dalamnya setiap anggotanya mempunyai hak yang sama untuk memperoleh kepenuhan hidup. Kita tidak dapat bertindak dan berpikir secara dikhotomi lagi, yang memisahkan perjuangan Gereja dengan Lembaga-lembaga pelayanan maupun Universitas, yang mungkin dianggap sekuler.
Forum-forum

Gereja dapat menjadi inisiator untuk mengadakan forum-forum mengenai penegakan dan perlindungan HAM, keadilan ekonomi-politik, keadilan gender, lingkungan hidup serta dilema kehidupan yang dialami masyarakat. Forum-forum ini juga harus dilakukan di tingkat lokal, baik dalam pusat-pusat latihan atau Jemaat-jemaat. Issue-issue yang dapat didiskusikan, misalnya saja:

Masalah kemiskinan yang parah serta berkembangbiaknya perkampungan kumuh.
Masalah air bersih, udara bersih dan lingkungan hidup yang bersih adalah hak asasi manusia.
Masalah sampah organik (sampah-sampah) atau kimiawi (limbah pabrik dan rumah Tangga) serta daur ulang yang tidak membahayakan hidup manusia.
Masalah pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development).
Pertanian organik & berkelanjutan (organic ang sustainable farming) dan kesehatan masyarakat miskin, dari masalah-masalah teknis sampai ideologi dan penciptaan sistem segmen pasar pertanian organik.
Anti penyiksaan dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan oleh negara.
Diskriminasi dan rasialisme negara.


Membentuk Satgas-Satgas Lintas SARA

Gereja dan Lembaga Pelayanan Kristen dapat memelopori membentuk satgas-satgas yang committed terhadap penegakkan dan perlindungan HAM, anti penyiksaan oleh negara, lingkungan hidup, dan isu-isu kehidupan lainnya, baik di tingkat nasional maupun lokal untuk menjadi nara sumber yang terdidik dan melakukan pembelaan-pembelaan politik atau sosial. Kelompok-kelompok ini dapat menolong jemaat dan masyarakat melakukan gerakan tersebut.


Pusat-pusat Studi

Gereja maupun Lembaga Pelayanan Kristen secara bersama-sama dengan lembaga lainnya dapat membangun pusat-pusat studi masalah HAM, Lingkungan Hidup, Anti Nuklir, Pertanian Organik, Pendidikan alternatif, dsb. di tingkat jemaat, lokal dan regional. Ini dapat dilakukan dengan membangun gedung dan pusat studi dimana informasi tentang masalah-masalah tersebut dapat disebarluaskan dan bahan-bahan tertulis (seperti brosur) tersedia dan mudah dimengerti oleh jemaat atau masyarakat dari lapisan manapun.


Kursus-kursus

Gereja, Lembaga Pelayanan Kristen, Universitas Kristen bahkan Sekolah Tinggi Teologia jangan hanya menyediakan kursus-kursus konvensional tentang studi Alkitab, tetapi juga studi keduniaan, terutama yang menyangkut masalah perlindungan atau pelanggaran HAM; Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan (abuse of child and woman); Lingkungan Hidup; Diskriminasi dan Rasialisme Negara, dsb. Oleh sebab itu pendeta atau pengkhotbah maupun fungsionaris gereja dapat ditolong ketika berkhotbah, yaitu Alkitab di tangan yang satu dan buku ilmu pengetahuan di tangan yang lain. Mengapa ? Sebab Allah berbicara juga kepada kita, bukan saja melalui Alkitab, tetapi juga melalui ciptaanNya. Lembaga pelayanan Kristen dapat mengambil inisiatif untuk memperbaiki mutu khotbah-khotbah digereja, yang pada akhirnya berdampak pada mutu pelayanan yang lebih kualitatif.


Mudah-mudahan kita berjalan pada jalan yang benar, namun jika kita salah, marilah kita dengan rendah hati mau merevisi konsep dan praktek kegerejaan kita, supaya kita dapat menjumpai Tuhan gereja yang sejati.

Selengkapnya..