Selasa, 18 November 2008

Membangun Kekuatan Ekonomi Subversif

MEMBANGUN KEKUATAN EKONOMI SUBVERSIF

(Peran Gereja Untuk Memberdayakan Masyarakat Dalam Membangun Kekuatan Ekonomi Alternatif )

Pengantar
Sering sekali dalam banyak tulisan-tulisan di media massa, kita dapat menjumpai bahwa bangsa Indonesia iri dan berdecak kagum akan kehebatan pemerintahan Korea, Thailand, Brazil, dan beberapa negara dunia III lainnya dalam membangun ekonominya yang mengalami krisis moneter dan ekonomi. Bahkan kita selalu memandang keberhasilan tersebut disebabkan oleh para birokrat, ekonom/ tehnokrat atau pelaku bisnis yang bersih dan jujur, sedangkan sebaliknya bangsa Indonesia tidak memilikinya. Akibatnya kita sering terpukau hanya pada keberhasilan kaum elite di jajaran birokrasi, politik dan bisnis-ekonomi.
Apakah benar faktor tunggal keberhasilan negara-negara tersebut membangun ekonomi negara adalah karena keberhasilan mereka menyelenggarakan pemerintahan yang bersih (clean government)? Apakah rakyat (petani dan buruh) dan arus bawah tidak memberi kontribusi apa-apa terhadap keberhasilan tersebut? Mengapa seringkali mereka (peranan dan kontribusi historisnya) kita lupakan, dan hanya kita asumsikan sebagai obyek atau korban sejarah saja? Sejauhmanakah peranan umat beragama memberikan kontribusi bagi bangsanya? Apakah Gereja mengambil peranan yang bermakna bagi proses transformasi tersebut di segala bidang? Sejauhmana Gereja dan organisasi-organisasi rakyat dapat memberikan kontribusi historisnya bagi pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan berprikemanusiaan?
Tulisan ini merupakan sebuah analisa kasar dari sebuah studi banding mengenai kekuatan kolaboratif dari organisasi gereja, LSM, universitas, partai politik dan organisasi rakyat dalam melawan kekuatan oppresip sistem kapitalis yang diselenggarakan oleh negara. Tulisan ini ingin menampilkan wajah lain dari keberhasilan sebuah negara mengatasi krisis moneter, ekonomi dan kemiskinan yang parah, yaitu wajah buruh, bakulan dan petani – wajah rakyat. Tentu saja saya sarankan kepada pembaca supaya bersikap kritis terhadap tulisan yang dihasilkan dari sebuah program studi banding yang saya lakukan di Korea, Guatemala dan El Salvador. Ditambah lagi terbatasnya ruang untuk menceritakan lebih terperinci dan spesifikasi dari masing-masing gerakan rakyat tersebut dari aspek filosifis, teknis sampai konteks sosial-budayanya.

Pembelajaran yang saya dapat dari gerakan buruh, bakulan, petani maupun aktivis sosial-gereja adalah begitu kuatnya gereja, organisasi-organisasi non-pemerintah dan rakyat membangun perlawanan subversif terhadap sistem ekonomi yang menindas mereka. Gerakan tersebut menandakan adanya dua arus yang mengalir dalam mengukir sejarah sebuah bangsa, yaitu arus atas dan arus bawah. Mungkin ini berguna bagi kita selaku aktivis sosial dan fungsionaris gereja dalam memberdayakan rakyat dalam membangun sistem ekonomi alternatif.
Oleh sebab itu saya akan memberikan beberapa catatan yang berfokus pada visi, misi dan kekuatan subversif dari gerakan organisasi gereja, universitas, LPK (Lembaga Pelayanan Kristen/ LSM) dan rakyat, yaitu antara lain:

Superversion vs Subversion
Kekuatan dan kapasitas membangun ekonomi negara tidak hanya terletak pada Pemerintahan yang bersih atau kelompok elite politik dan ekonomi saja, tetapi juga kekuatan subversif dari para buruh, bakulan, dan petaninya (baca: rakyat). Yang saya maksud kekuatan subversif adalah bahwa transformasi ekonomi dilakukan dari arus bawah, dimana rakyat menjadi subyek historis (penentu arah dan sistem ekonomi) dalam menentukan sejarah bangsa.
Transformasi ekonomi dapat kita lakukan dari dua aras, yaitu aras atas yang biasa disebut superversion, yaitu pelaku-pelaku dan penentu sejarah hanya kelompok elite. Superversion hanya menjadikan rakyat sebagai obyek historis – korban keputusan kelompok elite, dan bukan penentu sejarah hidupnya sendiri. Seringkali transformasi superversion berlangsung hanya sebatas lip-service, karena para elite politik-ekonomi mempunyai kepentingan untuk mempertahankan status quo. Aras lainnya yaitu subversion, yaitu dari bawah dimana bukan hanya para elite politik-ekonomi yang menentukan mati-hidupnya suatu bangsa, tetapi rakyat juga. Pendekatan subversion menjadikan rakyat sebagai subyek historis yang sejati. Sebagai contoh buruh-buruh yang tergabung dalam MICRO Trade Union (sebuah perusahaan pulpen dan pensil) di Korea. Ketika pemilik perusahaan tersebut ditahan polisi karena kasus KKN yang merugikan negara, para buruh menolak perusahaan tersebut dijual kepada investor asing dengan harga murah, sekedar hanya untuk mendatangkan investasi, dan juga menolak adanya PHK. Mereka meminta dukungan dari pemerintah untuk mengambil alih dan memberi kesempatan kepada kaum buruh untuk meneruskan roda produksi. Para buruh bersedia bekerja dan tidak dibayar sampai lebih dari 1 ½ tahun sebagai penyertaan modal.
Sekarang mereka sudah mendapat gaji kembali dan perusahaan itu tidak dijual kepada pihak asing, juga tidak dimiliki oleh seorang konglomerat, tetapi dimiliki oleh negara, buruh dan masyarakat luas. Sebuah nasionalisme yang bisa kita pelajari dari kaum buruh sekaligus membangun sistem ekonomi kaum buruh itu sendiri. Bandingkan dengan Indonesia yang menjual aset-aset vital kepada pihak asing dan menghancurkan kedaulatan rakyat.


Plebisit National Ala Brazil
Gereja bisa belajar dari kasus Brazil dimana gereja dan segenap komponen masyarakat menuntut pemerintah supaya melakukan plebisit nasional terhadap hutang luar negeri. Hutang luar negeri yang begitu besar menyebabkan negara mengalami kelumpuhan ekonomi. IMF dan Bank dunia serta lembaga-lembaga keuangan internasional merupakan instrumen politik dari negara-negara maju untuk menjajah negara-negara Selatan (seperti Indonesia). Gereja bersama-sama dengan gereja-gereja, gerakan-gerakan sosial, partai-partai politik, organisasi-organisasi buruh dan kaum professional berhasil mendesak pemerintah melakukan plebisit nasional, yang terjadi pada tanggal 2-7 September 2000. Lebih dari 90% dari partisipan menentang kebijakan pemerintah untuk hutang kembali kepada negara donor. Kebijakan hutang berarti mengorbankan negara dan membunuh rakyat. Rakyatlah yang menjadi korban dari hutang luar negeri itu, maka rakyatlah yang harus menentukan apakah perlu berhutang lagi atau tidak. Ini adalah salah satu bentuk subversif dimana politik ekonomi negara harus di bawah kontrol rakyat. Mengapa bangsa Indonesia hanya menyerahkan masalah hutang luar negeri kepada pemerintah saja, padahal ini sangat menyangkut nasib seluruh rakyat Indonesia. Kita kaya sumber alam dan berlimpah produknya, tetapi hidup dalam kemiskinan karena hutang yang sudah mencekik bagaikan gurita.


Syntesa Kapitalisme dan Kolektivisme : Sistem Ekonomi Rakyat Subversif

Dari kasus yang dilakukan oleh CEDEPCA (sebuah LSM Keagamaan) di Guatemala dan El Salvador. Sistem ekonomi yang mereka bangun adalah syntesa dari kapitalisme dan kolektivisme. Mereka membangun komunitas-komunitas basis, dan dalam komunitas basis tersebut mereka tetap memiliki hak pribadi atas alat produksi untuk melakukan kompetisi dengan orang lain. Di sisi lain mereka juga mengatur supaya ada alat produksi yang dimiliki oleh komunitas, sehingga mereka akan mempunyai lumbung gandum/ padi atau aset ekonomi yang dimiliki secara kolektif (seperti lumbung padi, Traktor, Sumur, dsb). Dari kekayaan dan alat produksi yang dimiliki secara kolektif tersebut, komunitas membangun infra struktur yang mereka butuhkan seperti sarana irigasi, pendidikan, perumahan dan lingkungan, tanaman-tanaman produktif, dsb.


Akses Mengontrol Produksi: Substansi Keadilan Ekonomi Rakyat
Tuntutan keadilan dan kemanusiaan yang diperjuangkan rakyat tidak berhenti pada retorika dan jargon-jargon perjuangan keadilan ekonomi rakyat, tetapi juga secara substansial dapat kita lihat. Misalnya melalui perjuangan yang begitu panjang buruh-buruh di PT KIA menuntut keadilan dan perlakuan manusiawi atas dirinya. Buruh-buruh akhirnya diperkenankan berserikat, diberikan sebuah gedung berlantai dua sebagai pusat organisasi mereka (KIA Automobile Trade Union). Buruh turut mengawasi roda produksi bukan hanya manajer perusahaan untuk mencapai target perusahaan yang berkeadilan dan berprikemanusiaan. Mereka ikut mengontrol kecepatan berputar roda produksi dari pemasangan mesin, body asesoris mobil sampai uji coba kendaraan sesuai kesepakatan.
Inilah keadilan ekonomi, misalnya dicapai kesepakatan antara pengusaha dan buruh, jika roda produksi perjam menghasilkan 1 buah mobil, sehingga buruh dihormati sebagai manusia bukan mesin/ robot produksi tetapi perusahaanpun tetap untung. Tuntutan kebebasan berserikat harus juga disertai dengan kepemilikan hak menentukan nasib melalui organisasi buruh dan sistem pengorganisasiannya, memiliki gedung sendiri, mengontrol sistem produksi seperti dapat meninjau setiap bagian kapan dan jam berapa mereka kehendaki, dsb. Semua dipahami sebagai simbol keadilan dan kemanusiaan, yang berarti juga memperkuat basis dan sistem ekonomi rakyat.


Ekonomi Rakyat: Membangun Masyarakat Ideologis
Melalui penguatan organisasi-organisasi rakyat, mereka tidak lagi menjadi mahluk apolitis dan ahistoris, sebaliknya mereka menjadi masyarakat ideologis yang menolak ideologi masa mengambang (floating mass) dan menentukan diri untuk menjadi subyek historis dalam menentukan dan membawa sejarah bangsanya menjadi bangsa yang adil dan sejahtera, yang diwujudkan dalam membangun sistem ekonomi alternatif.
Oleh sebab itu kurikulum pendidikan bagi kaum buruh dan petani dibangun dan dikembangkan; sistem dan model demonstrasi secara profesional dan anti anarkisme dibangun; cara menyampaikan tuntutan, penentuan waktu dan tempat, persiapan segala sarana dan fasilitas demonstrasi dilakukan dengan perhitungan yang sangat sistematis dan baik; sehingga membangun sistem demokrasi yang dapat dibanggakan. Organisasi-organisasi buruh dan petani dapat mempelajari dan mengevaluasi program-program politik, sosial ekonomi partai-partai, sehingga mereka dapat mengkampanyekan keterpihakannya pada sebuah partai yang dapat mengartikulasikan kepentingan rakyat.


Ekonomi Rakyat: Membangun Infra-struktur Yang Berorientasi Pada Rakyat

Tidak kalah radikalnya dengan gerakan buruh, gerakan dan misi petanipun mampu menghadapi kekuatan kapitalis. Liga Tani di Chulwon dan komunitas Tani di Chulroan, misalnya mempunyai organisasi tani yang begitu kuat. Mereka memiliki sekolah pertanian sendiri, yang mengembangkan pertanian organik. Mereka juga mempunyai sistem marketing yang memenuhi standar internasional, SPBU sendiri (karena harga bensin diserahkan pada pasar), lumbung sendiri, Bank Petani, perupustakaan, supermarket petani, dsb. Petani-petani dilarang menjual hasil produksi pertaniannya (entah padi, sayur, atau telur bebek) secara bebas tetapi harus melalui organisasi sehingga harga tidak jatuh dan dikontrol oleh mereka. Kalau di Indonesia petani identik dengan orang bodoh dan tidak berpendidikan tinggi, maka di Korea kita dapat menjumpai banyak petani adalah sarjana pertanian. Petani adalah profesi yang dapat meningkatkan taraf kehidupan bukan sebagai lambang kemiskinan. Gerakan komunitas tani dan liga tani ini mendesak pemerintah untuk terus-menerus memperbaiki sistem pertanian dan melakukan transformasi pertanian di Korea yang berpihak kepada kaum tani.


Ekonomi Rakyat: Membangun Aliansi Strategis
Membangun ekonomi rakyat, berarti juga membantu organisasi rakyat berelasi dengan Partai-partai politik atau organisasi nasional dan internasional yang mempunyai platform kesejahteraan rakyat sehingga dapat menyalurkan aspirasi mereka. Seperti CEDEPCA membantu organisasi-organisasi rakyat di Guatemala dan El Salvador berjuang bersama aliansi 12 Partai Rakyat untuk program land-reform, perumahan rakyat (rumah bambu dan batako), dan partisipasi rakyat dalam keputusan politik. Singkatnya organisasi rakyat mempunyai akses untuk ambil bagian dalam penyelenggaraan negara.
Juga berjalan bersama dengan Universitas-universitas yang berorientasi pada pembangunan ekonomi rakyat, seperti UCA (Universidad de Centro Americano) yang membangun teori ekonomi pembebasan. Universitas dan para akademisi mengembangkan ilmu politik, ekonomi budaya, pertanian yang mendapat inspirasi dari teologi pembebasan, yang menempatkan rakyat sebagai subyek historis. Begitu juga dengan Organisasi-organisasi buruh dan tani di Korea, mereka berelasi dengan Democratic Party ( Lee Kee Taek), National Congress for New Politics (Kim Dae Jung), New Korea Party ( Kim Young Sam) dan United Liberal Democrat (Kim Jong Pil) dalam membangun kekuatan ekonomi rakyat dan melahirkan undang-undang di sektor ekonomi yang berorientasi pada kepentingan rakyat.
Untuk kasus Indonesia, gereja dapat saja melakukan kontrak-kontrak sosial-politik dengan partai atau perwakilan daerah untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, dan memperkuat basis ekonomi rakyat. Jika ini terjadi, maka pemilu bukan sekedar ritual kosong, tetapi momentum politik untuk menciptakan perubahan yang berbeda secara kualitatif.

Dari beberapa catatan di atas jelaslah pengorganisasian masyarakat menjadi sangat powerful dan efektif untuk melawan kekuatan destruktif-represif dari sistem dan ideologi ekonomi kapitalisme negara dan internasional. Membangun kekuatan subversif bukanlah sesuatu yang harus kita hindari, sebaliknya harus kita lakukan. Fungsi GEREJA atau organisasi keagamaan harus memfokuskan pelayanannya pada pemberdayaan organisasi rakyat tersebut sebagai subyek historis.
Kekuatan subversif mempresuposisikan manusia sebagai mahluk yang diciptakan segambar dengan Penciptanya, sehingga rakyat pun menjadi subyek yang menentukan sejarahnya pula. Implikasinya adalah bahwa buruh dan petanipun adalah pelaku-pelaku sejarah yang harus menentukan arah dan visi kemana bangsa ini akan menuju. Nasib bangsa tidak hanya diserahkan kepada segelintir manusia yang duduk di parlemen atau kabinet, nasib bangsa harus diserahkan dan ditentukan bersama rakyat. Supaya rakyat dapat menjadi pelaku sejarah, maka rakyat harus mampu mengorganisasikan dirinya sekuat kekuatan yang menentangnya.


Rekomendasi untuk Gereja dan LPK (Lembaga Pelayanan Kristen) Indonesia

Melakukan program konsientisasi kepada rakyat secara sistematis mengenai sistem perekonomian nasional yang kapitalistik-militeristik dan kekuatan lembaga-lembaga keuangan internasional dengan segala dampaknya bagi rakyat, sehingga dapat melakukan antisipasi-antisipasi produktif. Membangun kepekaan rakyat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan perekonomian rakyat.

Penciptaan ideologi ekonomi serta implikasinya, seperti penolakan bibit unggul/ teknologi tinggi, pestisida, pupuk kimiawi menuju ideologi ekonomi berbasis rakyat dan padat karya yang berorientasi pada kelestarian lingkungan hidup dengan menciptakan pertanian dan predator organik. Dari masalah teknis sampai penciptaan sistem pasar pertanian organik. Penguasaan informasi dan promosi ideologi pertanian organik yang memperkuat perekonomian rakyat (kasus Texas). Umumnya kita hanya berhenti pada masalah teknis pertanian/ perikanan organik.

Menciptakan program-program terpadu (pertanian, perikanan, perburuhan) yang berfokus pada kemandirian dan melepaskan diri dari ketergantungan kepada pihak lain yang dianggap lebih kuat atau potensial untuk menindas dan yang memiliki alat produksi.

Menciptakan sekolah alternatif di pedesaan atau perkotaan melalui program paket A, B dan C yang memberikan basis filosofis dan materi bagi rakyat untuk membangun perekonomian rakyat. Kurikulum sekolah tersebut terdiri dari 40% teori tepat guna dan 40% praktek lapangan sampai sistem pemasaran dan 20% tutorial dan pengorganisasian.

Pembentukan lembaga-lembaga rakyat (seperti kelompok ikan, kelompok tani, buruh, pengrajin sampai anak-anak jalanan) yang memperkuat ketahanan ekonomi rakyat. LPK lebih mudah membuat jejaring dengan masyarakat yang memiliki organisasi-organisasi kerakyatan.

Untuk daerah-daerah yang memungkinkan perlu dipikirkan sintesa dari dua sistem ekonomi, yaitu kapitalisme dan sosialisme (kasus Guatemala dan El Salvador); land-reform dan tata desa pertanian (kasus Kamboja, Thailand); pengelolaan tanah negara dan pengusaha oleh rakyat (kasus Vietnam).

Gerakan parlementer melalui sinergi dan aliansi antara LPK, Gereja/ Lembaga Keagamaan, Organisasi Rakyat, Universitas dan partai-partai politik yang memiliki platform membangun dan memberdayakan perekonomian rakyat. Gereja dapat terlibat dalam menentukan politik Anggaran di tingkat Pemerintahan Daerah/ Kota sebagai TKS (Tim Kerja Stakeholder).

Khusus untuk GKJ Dagen-Palur, sudah waktunya untuk membangun Lembaga-Lembaga Keuangan Mikro, Koperasi, Kelompok Usaha Bersama dsb sebagai kekuatan ekonomi alternatif bagi masyarakat. Sudah waktunya Gereja, seperti juga GKJ Dagen Palur mempunyai basis ekonomi yang dapat memperkuat ekonomi masyarakat.