Selasa, 18 November 2008

Penatalayanan Gereja

PENATALAYANAN GEREJA YANG BERORIENTASI PADA PEMULIHAN MARTABAT DAN HAK ASASI MANUSIA


Pendahuluan
Fenomena kekerasan yang terjadi di Indonesia sudah sangat menakutkan. Dari maling yang dibakar hidup-hidup, pelacuran anak-anak, penyiksaan para TKI/ TKW, pembunuhan para aktivis HAM, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penghancuran rumah ibadah dan perusakan semena-mena oleh ormas-ormas, sampai pada perang saudara yang sangat menyakitkan kehidupan.
Pada level international kita dapat melihat terorisme internasional, invasi USA ke negara-negara dunia III (Irak, Afganistan), serta kekerasan ekonomi-struktural melalui IFIs (International Financial Institutions/ Lembaga-lembaga Keuangan Internasional – Bank Dunia, IMF, ADB) menjajah negara-negara Selatan, yang kaya sumber alam, tetapi miskin secara ekonomi-sosial. Indonesia, negara-negara Amerika Latin, ASEAN, negara-negara Afrika (baca: negara-negara Selatan), sekalipun kaya sumber alamnya, tetapi hidup dalam kemiskinan dan menjadi negara yang terkebelakang.
Fenomena tersebut akhirnya mendorong kita bertanya sejauh manakah gereja mampu menjadi agen penegak Hak Asasi Manusia (HAM). Segala macam kritik terhadap gereja sudah sering kita dengar yaitu, mengapa ajaran dan perilaku gereja tidak mampu mengembangkan dan memberi kontribusi kepada masyarakat tentang penegakan HAM. Mengapa ajaran dan perilaku keagamaan kita tidak memberi dorongan kepada kita untuk berani menjadi saudara bagi sesama?

Masih absahkah kita berbicara tentang penegakan HAM di atas puing-puing kehancuran humanitas manusia Indonesia. Lebih-lebih ketika kita melihat bahwa kehancuran humanitas tersebut justru dilakukan oleh orang-orang yang merasa dirinya membela agama, suku, ras atau golongannya. Sejauhmanakah heroisme tersebut dibentuk oleh budaya dan praktek keagamaan? Apakah benar akar kekerasan adalah agama, suku, ras atau golongan itu sendiri? Masih relevankah kita berbicara penegakan HAM sementara di depan mata kita terus saja kita lihat perilaku manusia yang semakin menakutkan, perang antar kelompok, membakar copet secara hidup-hidup, perusakan segala tempat yang dianggap antiagama, penculikan, penyiksaan, dsb?
Mengapa manusia begitu mudah melakukan agresi? Di tengah kegersangan sifat dan perilaku humanis tersebut, mungkin sumbangan analisa sosio-psikologis atas watak manusia dari Erich Fromm mengenai gejala kekerasan/ agresi sangatlah menolong kita untuk memahami mengapa manusia mempunyai perilaku agresi jahat – destruktif dan kejam. Ada yang berpendapat bahwa agresi adalah tindakan yang berbahaya, yaitu tindakan-tindakan yang berakibat merugikan atau merusak benda-benda tidak hidup, tanaman, manusia atau binatang, walaupun harus kita akui sifat dari tindakan-tindakan yang membahayakan itu secara keseluruhan tidaklah saling berkaitan (Erich Fromm, Akar Kekerasan, 2000).
Sebenarnya agresi merupakan dorongan yang adaptif secara biologis dan berkembang secara evolusioner, yang mempertahankan hidup individu dan spesies. Namun juga agresi dapat berkembang menjadi penumpahan darah (bloodlust) dan kekejaman, maka dapat kita artikan bahwa hasrat irasional ini juga merupakan bawaan sehingga peperangan dapat dianggap sebagai akibat dari kegemaran membunuh. Ini artinya bahwa peperangan dan kekejaman disebabkan juga oleh kecenderungan destruktif bawaan dalam fitrah (sifat dasar) manusia. Fromm memang menggunakan istilah agresi untuk dua hal, yaitu agresi reaktif-defensif (agresi lunak) dan agresi jahat, yaitu kekejaman dan kedestruktifan manusia untuk merusak dan memperoleh kekuasaan mutlak. Pada level tertentu agresi jahat berwujud dalam perilaku nekrofilia (mencintai kematian) – kepuasan atau kesenangan terhadap segala sesuatu yang dapat membusuk, tak bernyawa, destruktif, merusak/ membinasakan.

Nilai Intrinsik Dualitas HAM : Anugerah dan Perjuangan/ Proyek Historis

Ketika kita berbicara tentang HAM, maka kita akan menemukan nilai/ intrinsik dualitas di dalamnya. Di satu sisi, kita percaya bahwa HAM adalah anugerah penciptaan (Kej 1:26,27). Yang dimaksud dengan anugerah (given) adalah nilai yang melekat dalam hidup manusia ketika ia diciptakan/ lahir. Sebagai anugerah/ kodrat (given) dalam penciptaan, maka presuposisi teologis ini mendorong kita untuk mengakui semua manusia, baik Kristen atau Islam, hitam atau putih, Yahudi atau Arab, cacad atau normal, laki-laki atau perempuan, orang tua atau bayi, dsb. adalah sama mulia, berharga, bermartabat, dst Dari sudut pandang ini maka tidak ada satu pihak/ otoritas baik dalam bentuk lembaga keluarga, gereja, masyarakat, adat atau bahkan negara yang dapat mengklaim sebagai sumber legitimasi HAM dan juga sebaliknya ada yang dapat mengambil/ merampasnya dari manusia. Nilai intrinsik dalam penciptaan adalah HAM melekat dalam penciptaan itu sendiri.
Dari perspektif ini, HAM adalah sebuah konsep egalitarian yang radikal, bahwa semua umat manusia memilikinya dan ini melampaui batas-batas geografis, agama, ras, suku, jenis kelamin, usia, dsb. serta tidak dapat dihapus atau dicabut oleh siapapun dengan cara apapun. Dari konsep ini seharusnya tidak ada pelarangan jenis kelamin, agama, rasial, dan diskriminasi lainnya untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh menjadi presiden, imam, pendeta, ulama, dosen, dsb. Mengapa? Karena nilai HAM adalah intrinsik (nilai yang dibawa/ dimiliki secara natural) dalam diri manusia. Tidak ada satu pihak/ otoritas pun (termasuk agama) yang boleh mengklaim sebagai pemberi atau pelenyap HAM tersebut.
Ketika kita berbicara bahwa bukan orang lain, keluarga, gereja, masyarakat atau negara sebagai sumber/ dasar legitimasi HAM, juga harus kita akui bahwa mereka memiliki kekuasaan (power) untuk memperkuat atau melenyapkan HAM. Maka nilai intrinsik dualitas HAM yang lain, selain anugerah (given) adalah bahwa HAM merupakan perjuangan sejarah (historical struggle). Karena ia menjadi perjuangan sejarah, maka HAM juga merupakan sebuah proyek sejarah (historical project). Gereja, agama, LSM, Lembaga Adat, dan negara, PBB, dsb. memiliki kekuatan dan kuasa untuk memperjuangkan, menegakkan, meningkatkan, dan menjaga HAM supaya nilai intrinsik pertama HAM sebagai anugerah (given) dapat berlaku. Namun di sisi lainnya lembaga-lembaga tersebut juga dapat melenyapkan HAM, merampasnya serta menginjak-injaknya, yang menyebabkan nilai intrinsik HAM sebagai anugerah (given) tidak berjalan/ berlaku. Itulah sebabnya HAM harus terus-menerus diperjuangkan pada level yang berbeda-beda, yaitu dari wacana sampai pada legal-politis dan ideologis.
Kita tidak bisa berhenti pada pengakuan bahwa HAM itu anugerah Tuhan dalam penciptaan, tetapi sekaligus juga harus memperjuangkannya supaya terwujud. Kita percaya bahwa perjuangan melawan penindasan, dominasi, kekerasan, dsb. adalah perlu dan bermakna serta dapat dibenarkan. Oleh sebab itu HAM bukan hanya sebagai sikap pasrah menerima kodrat/ anugerah tetapi juga menjadi perjuangan dan proyek sejarah (historical struggle and project).
Ketika kita berjuang, termasuk melawan tradisi dan doktrin gereja/ agama, adat, negara, dsb. yang melenyapkan HAM, norma manakah yang harus kita utamakan? Apakah kita berpihak pada perjuangan agama kita, karena sekedar pertimbangan itu agama dan kepercayaan kita? Jika tidak, mengapa kita tidak terlibat? Dalam memperjuangkan HAM sebagai nilai intrinsik perjuangan/ proyek sejarah, kita harus memiliki norma untuk kita tegakkan. Jawabnya adalah jelas, yaitu nilai intrinsik HAM itulah yang menjadi norma utama (Prima Norma), yaitu kemanusiaan yang segambar dengan Pencipta, yang melampaui batas-batas agama, ras, suku, bangsa dan jenis kelamin. Prima norma ini harus berjalan supaya perjuangan menegakkan HAM tidak berjalan sebaliknya tetapi menuju pada nilai intrinsic HAM sejati.
Prima norma HAM ini harus menjadi dasar bagi gereja/ LPK untuk melawan dan berjuang atas segala bentuk penindasan, dominasi, kekerasan terhadap manusia yang dilegetimasi oleh agama, ras, suku, bangsa atau seksual. Perjuangan/ proyek historis HAM adalah sebuah proses untuk merevisi, mereinterpretasi serta merekontekstualisasi segala doktrin, kepercayaan maupun perilaku manusia yang hanya menghancurkan/ melenyapkan prima norma HAM.

Dasar Teologis Kristen Bagi HAM: Allah adalah Pribadi

Doktrin Kristen tentang Allah sebagai pribadi (Latin: Persona) dapat kita lihat sebagai dasar teologis pengakuan atas HAM. Artinya pengakuan Allah sebagai pribadi dan bukan melulu roh menyatakan nilai kemanusiaan yang begitu luhur. Allah bukan hanya sesuatu yang metafisik melainkan pribadi. Yaitu Allah yang hadir dalam sejarah dan menjumpai umat manusia dalam Yesus. Bandingkan lebih mendalam lagi gambar Yesus yang berbeda-beda, yaitu Yesus sebagai Yesus Indian, Yesus China, Yesus Latin, Yesus Jawa, Yesus Rakyat tertindas dsb, Dengan demikian kehadiran Allah bukanlah hanya suatu permainan intelektual, melainkan personal – realitas yang hidup-- yang dapat manusia rasakan kehadiran-Nya setiap hari. Pengalaman religius manusia membentuk kepercayaan kita kepada personalitas Allah. Dalam Alkitab, kita dapat menemukan perjumpaan manusia dengan Pribadi Allah sebagai pengalaman religius yang mentransformasi hidup manusia. Misalnya perjumpaan Musa dengan Allah; panggilan Abraham; nabi Elia; Yunus yang tidak mau ke Niniwe; Yeremia; Yesaya; Paulus yang tadinya bejad dan pembunuh dapat menjadi rasul, dsb.
Dalam pengalaman religius tersebut kita dapat mengerti, bahwa orang yang dijumpai Allah dapat mepercayai bahwa Allah adalah Allah yang hidup – nyata. Dari perspektif teologis tersebut, kita dapat percaya tentang personalitas Allah dalam kemanusiaan orang Negro, Putih, Jawa, Tionghoa, Kristen atau Islam, dsb. Jadi dengan percaya bahwa Allah adalah Pribadi, maka setiap manusia adalah bermakna dan berarti, bukan karena apa dan siapa dia, melainkan an sich dia adalah pribadi. Seseorang bermakna bukan karena ia diberi oleh orang lain, tetapi dari sananya, diciptakan Allah sebagai pribadi. Jadi, ketika kita menghina pribadi Negro, atau Putih, Tionghoa, Islam, Kristen, dsb. Kita sebenarnya menghina Allah itu sendiri. Begitu juga ketika kita merampas HAM seseorang, sebenarnya kita merampas kehidupan Allah dalam diri orang tersebut.
Inilah alasannya, mengapa dalam sejarah perjuangan HAM (Civil Rights Movement), Pdt. Martin Luther King, Jr. percaya pada personalitas Allah dalam kemanusiaan masyarakat Negro maupun Putih (bnd. Yesus menolak partikularisme Yahudi; Mahatma Gandhi; Nelson Mandela). King tidak hanya ingin berjuang bagi masyarakat Negro dan menghancurkan martabat kulit Putih, melainkan mengembalikan personalitas Allah yang hilang dalam manusia yang ditindas (Negro) dan yang menindas (Putih). Ketika orang-orang Negro ditindas, dan diberlakukan hukum yang diskriminatif-rasialis, serta manusia dipisahkan relasi sosialnya atas dasar perbedaan warna kulit, sesungguhnya ia kehilangan personalitasnya. Namun perlu diingat, bersamaan dengan itu, orang yang menyebabkan Negro kehilangan personalitasnya, sesungguhnya dia sendiri juga kehilangan personalitasnya. Bukan hanya orang yang ditindas yang kehilangan kemanusiaannya, tetapi juga si penindas. Jadi pada praktek perampasan HAM, di sana tidak ada yang lebih manusiawi, dan tidak ada kemanusiaan, baik pada orang yang ditindas maupun penindasnya.
Allah yang adalah Allah personal, adalah juga Allah yang bekerja dalam sejarah manusia untuk menegakkan martabat manusia dan menciptakan komunitas yang sejati. Sama seperti Allah mengeluarkan Israel dari tanah perbudakan (baca: anti HAM) ke tanah perjanjian (=kemanusiaan baru), Ia juga akan membebaskan semua manusia yang martabatnnya sedang dirampas dalam penindasan, hukum yang diskriminatif (rasial, religius, seksis) dan ketidakadilan sosial. Pembebasan jangan kita lihat sebagai pembebasan sekali untuk selama-lamanya, melainkan hanya suatu paradigma (contoh historis) pembebasan dan perjuangan HAM yang Allah kerjakan dalam sejarah manusia. Pembebasan Israel harus kita pahami sebagai sebuah paradigma pembebasan, yang berlaku juga pada sejarah manusia di bagian lain dan pada bangsa lain, juga di zaman yang lain.
Dari perspektif teologis kristen, Allah personal yang historis ini nyata dalam inkarnasi Yesus. Kepercayaan kepada inkarnasi, kematian, dan kebangkitan Yesus membawa kita pada pemahaman bahwa kematian Yesus bukan sekedar ide teologis, melainkan ekspresi abadi bahwa Allah memperbarui martabat manusia. Kepercayaan kepada Allah yang bekerja dalam sejarah ini membawa manusia tiba pada kepercayaan bahwa Allah adalah Allah kasih dan Allah keadilan, yang tidak netral tetapi berpihak pada orang yang dirampas hak-hak hidupnya. Allah kasih dan keadilan ini meminta imperatif etis umat untuk berpartisipasi menegakkan HAM. Jadi kalau ada orang Islam ditindas HAM-nya, maka yang harus marah dan berjuang bukan hanya dari umat Islam, tetapi juga dari kelompok lainnya, dan sebaliknya.
Dengan demikian, martabat atau harkat manusia terletak pada keterhubungannya dengan Khaliknya. Kepercayaan ini membawa kita pada penegasan bahwa umat manusia diciptakan oleh Allah dalam gambar-Nya (fitrah-Nya). Dari perspektif ini, jelaslah bahwa tidak ada skala subordinatif dari martabat atau esensi manusia; juga tidak ada hak ilahi atas satu ras, golongan atau agama yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Ide tentang harkat dan martabat personalitas manusia didasarkan pada pemahaman teologis bahwa semua manusia diciptakan sama.
Ini mempunyai konsekuensi bahwa setiap manusia diberkati oleh Penciptanya dengan hak-hak yang tidak dapat dihilangkan/ diasingkan seperti kehidupan, kebebasan maupun kebahagiaan. Ini menjadi kesakralan personalitas manusia. Kesakralan ini akan hilang ketika seseorang diperlakukan hanya sebagai obyek atau alat untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu setiap orang berhak dan layak berkata, bahwa dirinya adalah manusia dengan harkat dan martabat.
Kita percaya kepada kesakralan humanitas manusia karena kita percaya kepada Allah yang adalah pribadi, yang menciptakan manusia laki-laki dan perempuan segambar dengan diri-Nya (Kejadian 1:27). Oleh sebab itu, semua orang, baik Hitam atau Putih, Indonesia atau Arab, Kristen atau Islam, dsb. mempunyai kapasitas moral untuk melakukan kebaikan, keadilan, dan kebenaran untuk memerangi kejahatan-kejahatan HAM.

Prinsip Kasih dan Anti-kekerasan (nonviolence): Metode Sejati Penegakan HAM dan Perlawanan Terhadap Praktek Kekerasan

Kasih adalah salah satu bagian yang prinsipial dari doktrin Kristen. Ada prinsip lain yaitu keadilan dan pengharapan. Dalam memperjuangkan HAM, gereja harus menjadikan kasih sebagai prinsip yang lebih utama dari yang lainnya, sebab kasih adalah kehendak baik yang kreatif, menebus dan memahami bagi semua manusia. Kasih bukanlah kelemahan, melainkan tindakan yang memperbarui.
Ini menjadi jelas, bahwa kedirian dari humanitas manusia dinyatakan oleh kasih ilahi yang kreatif dan menebus. Allah adalah kasih, oleh sebab itu kasih berasal dari Allah. Karena Allah adalah kasih, maka manusia harus mengasihi manusia sekalipun mereka tidak mengasihinya. Kasih adalah pengorbanan diri dan pengosongan diri (Yun: kenosis) yang meneguhkan kita untuk menderita secara sukarela demi kebenaran, keadilan dan tegaknya martabat manusia. Menderita dalam kasih dapat menjadi kekuatan sosial yang kreatif.
Jika kasih sebagai prinsip gereja dalam menegakkan HAM, maka kekerasan (violence) adalah jalan yang tidak bermoral dan tidak kreatif. Kekerasan tidak kreatif sebab kekerasan hanya melahirkan kehancuran yang terus-menerus bagi umat manusia. Kekerasan juga tidak bermoral karena kekerasan hanya menghancurkan martabat manusia dan penghinaan atas harkat manusia daripada menobatkan.
Kekerasan hanya menimbulkan kebencian daripada kasih, dan menghancurkan komunitas daripada persaudaraan umat manusia. Secara historis dan sosial, sudah terbukti bahwa kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah-masalah HAM, sebab kekerasan hanya menciptakan masalah yang baru dan lebih rumit dalam masyarakat. Gereja harus berpegang pada prinsip ini, bahwa metode yang destruktif tidak pernah menghasilkan akhir yang konstruktif, karena tujuan menjadi pre-existent dalam alat/ metode.
Dengan basis teologis tersebut, gereja harus menggunakan metode nonviolent dalam menegakkan HAM. Juga gereja jangan memisahkan tujuan dan alat, sebagaimana juga isi dan bentuk. Kasih harus menjadi prinsip utama bagi gereja, sebab alat harus semurni tujuan – alat dan tujuan harus ada bersamaan. Instrumen terbesar adalah instrumen kasih sebagai senjata yang paling utama dan maha luhur.
Kekerasan tidak pernah menghasilkan tatanan baru, keadilan dan penegakkan HAM bagi semua umat manusia. Sebaliknya, tanpa kekerasan akan menghasilkan kehidupan yang sejati, keadilan, kebebasan dan harkat manusia. Oleh sebab itu prinsip tanpa kekerasan (nonviolent) memiliki kekuatan untuk mentransformasi musuh menjadi sahabat. Ini adalah jalan kasih untuk mewujudkan martabat manusia dari penindasan, diskriminasi rasial, agama, seksual maupun ketidakadilan sosial. Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh James Cone, bahwa prinsip tanpa kekerasan menjadi lebih dari sekedar cara yang praktis bagi orang yang tertindas untuk mencapai keadilan, tetapi juga menjadi cara/ jalan hidup, komitmen total manusia.
Kita juga dapat melihat karakteristik prinsip kasih dan tanpa kekerasan, sbb.:
Perlawanan tanpa kekerasan bukanlah metode bagi orang-orang yang takut, tetapi ini adalah perlawanan. Jika seseorang menggunakan metode ini hanya karena ia takut atau karena kekurangan instrumen kekerasan, maka ia bukanlah orang yang pembela anti kekerasan yang sejati. Metode ini secara fisik adalah pasif, tetapi secara spiritual sangat aktif dan kuat. Metode ini adalah perlawanan tanpa kekerasan yang aktif melawan kejahatan, dan bukan perlawanan pasif terhadap kejahatan.

Anti kekerasan adalah metode yang tidak mencari untuk mengalahkan atau mempermalukan lawan, tetapi untuk memenangkan persahabatan dan menegakkan martabat manusia.

Serangan lebih diarahkan/ difokuskan melawan kekuatan-kekuatan jahat daripada melawan orang-orang yang melakukan kejahatan. Yang sedang diperangi adalah kejahatan dan bukan orang yang menjadi korban atau dikuasai kejahatan.

Perlawanan tanpa kekerasan menghindari bukan hanya kekerasan fisik eksternal tetapi juga kekerasan spiritual internal. Pejuang nonviolent bukan hanya menolak membunuh lawannya tetapi juga menolak membenci lawannya.

Prinsip tanpa kekerasan didasarkan pada keyakinan bahwa dunia berpihak pada keadilan dan HAM. Konsekuensinya ialah bahwa orang-orang yang percaya pada metode ini memiliki iman yang kuat tentang masa depan yang lebih baik.

Agenda Yang Harus Dikerjakan Oleh Gereja Untuk Penegakan HAM Dan Mentransformasi Budaya Kekerasan, Sbb:
Informasi
Gereja dan Lembaga Kristen dapat menyampaikan masalah-masalah atau penegakan HAM kepada masyarakat moderen dengan cara-cara yang imajinatif, prophetis dan membebaskan serta menolong mereka yang lemah dan terbungkam supaya dapat didengar dan diperhatikan hak hidupnya oleh pihak lain. Sudah waktunya buletin-buletin rohani atau pelayanan lembaga Kristen dapat memuat atau mengintroduksi masalah-masalah pembangunan HAM, dan tanggungjawab warga serta masyarakat terhadap penegakkan dan perlindungan HAM, termasuk di dalammnya anti diskriminasi dalam hal suku, agama, ras dan antar golongan. Itulah sebabnya GKJ Dagen-palur membangun Komisi Hukum dan HAM, Komisi Pemberdayaan Perempuan, Koperasi, Devisi Keuangan Mikro dan sebagainya, supaya gereja dapat menegakkan keadilan, martabat dan Hak Asasi manusia dalam semua aspek kehidupan.
Reunifikasi
Dalam penegakkan HAM, gereja dan lembaga pelayanan Kristen dapat melakukan reunifikasi dengan LSM dan Universitas-universitas maupun Lembaga-lembaga Pelayanan Hukum, ekonomi, budaya dan sebagainya, serta mengkonsolidasi seluruh visi dan misi pelayanannyademi keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Semua lembaga tersebut harus membebaskan diri dari ikatan struktur kekuasaan yang membutakan kita dan menjadikan kita alat dalam penghancurannya, apalagi penghancuran harkat dan martabat manusia. Bahkan sudah saatnya reunifikasi lembaga-lembaga tersebut dengan perjuangan masyarakat menciptakan keadilan, dan perdamaian sejati.
Inilah saatnya bagi gerakan oikumenis bagi gereja dan lembaga pelayanan Kristen secara kualitatif untuk menyuarakan visinya tentang semua orang yang hidup di dunia dan memperhatikan ciptaan sebagai keluarga yang di dalamnya setiap anggotanya mempunyai hak yang sama untuk memperoleh kepenuhan hidup. Kita tidak dapat bertindak dan berpikir secara dikhotomi lagi, yang memisahkan perjuangan Gereja dengan Lembaga-lembaga pelayanan lainnya maupun Universitas, yang mungkin dianggap sekuler.
Gereja tidak bisa angkuh lagi, seolah-olah dapat bekerja sendiri menegakkan HAM. Gereja harus bekerjasama dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Universitas-universitas, Pusat-pusat Studi, Lembaga Keuangan Mikro, Koperasi, bahkan Partai Politik yang memiliki agenda politik penegakkan HAM. Kita tidak bisa lagi berpikir dikotomik dan antagonistik, yang memisahkan gereja dengan lembaga-lembaga lainnya.
Ingat! Siapa yang mendapat Nobel Perdamaian Tahun ini? Bukan tokoh rohaniawan dari gereja, tapi Prof. Dr. Mohammad Yunus seorang muslim dari Banglades yang memimpin Grameen Bank (Bank Pedesaan) ia memperjuangkan hak-hak ekonomi orang-orang miskin sejak 1970-an. Kini dunia mengakui dia sebagai pejuang HAM sekalipun bekerja di sektor ekonomi. Teolog-teolog dan Pendeta-pendeta jangan congkak, seringkali merasa suci tetapi tidak melakukan apa-apa!!
Terinspirasi dengan perjuangan sang Pemenang Nobel Perdamaian ini, komunitas GKJ Dagen-Palur telah memiliki 3 (tiga) lembaga keuangan mikro, yaitu: Koperasi Anugrah, Koperasi Pelita Buana Artha dan Devisi Keuangan Mikro (DKM) Insedcot untuk memperluas pelayanan.
Forum-forum
Gereja dapat menjadi inisiator untuk mengadakan forum-forum mengenai penegakan dan perlindungan HAM, serta dilema kehidupan yang dialami masyarakat. Forum-forum ini juga harus dilakukan di tingkat lokal, baik dalam pusat-pusat latihan atau Jemaat-jemaat. Issue-issue yang dapat didiskusikan, misalnya saja:

Masalah kemiskinan yang parah serta berkembangbiaknya perkampungan kumuh.Bagaimana gereja dapat memberitakan kabar baik bagi orang miskin.
Masalah air bersih, udara bersih dan lingkungan hidup yang bersih adalah hak asasi manusia. GKJ Dagen-Palur mendirikan Komisi Pedesaan & Perkotaan untuk mengengembangkan teologi bumi dari umat.
Masalah sampah organik (sampah-sampah) atau kimiawi (limbah pabrik dan rumah Tangga) serta daur ulang yang tidak membahayakan hidup manusia.
Masalah pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development).
Penghapusan diskriminasi dalam segala aspek kehidupan bangsa.
Anti kekerasan dan penyiksaan
Penyiksaan terhadap TKI maupn TKW
Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dialami perempuan dan anak-anak.
Pemanasan global dan kehancuran planet bumi.
Dsb.

Membentuk Satgas-Satgas
Gereja dan Lembaga Pelayanan Kristen dapat memelopori membentuk satgas-satgas yang committed terhadap penegakkan dan perlindungan HAM, baik di tingkat lokal, regional maupun nasional untuk menjadi nara sumber yang terdidik dan melakukan pembelaan-pembelaan politik atau sosial. Kelompok-kelompok ini dapat menolong jemaat dan masyarakat melakukan gerakan penegakkan dan perlindungan HAM.

Pusat-pusat Studi Masalah Hak-hak Asasi Manusia
Gereja maupun Lembaga Pelayanan Kristen secara bersama-sama dengan lembaga lainnya dapat membangun pusat-pusat studi masalah HAM di tingkat jemaat, lokal dan regional. Ini dapat dilakukan dengan membangun gedung dan pusat studi dimana informasi tentang masalah HAM dapat disebarluaskan dan bahan-bahan tertulis (seperti brosur) tersedia dan mudah dimengerti oleh jemaat atau masyarakat dari lapisan manapun.
Peristiwa Mei 1998, yang berkaitan dengan pembakaran gereja maupun sekolah-sekolah Kristen justru telah menyadarkan gereja. Gereja selama ini hanya membangun dirinya sendiri. Ia hanya megah sendiri. Menciptakan sekolah favorit yang mahal dan hanya orang-orang kaya yang dapat menikmatinya. Namun, masyarakat sekitarnya tidak merasakan manfaat apa-apa dari gereja dan sekolah Kristen yang besar dan megah ini! Apa hasilnya? Yang masyarakat menghancurkannya, toh sama saja bagi mereka.
GKJ Dagen-Palur harus bergerak dan melayani semua manusia. Kita membantu masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya, pendidikannya, serta pelayanan-pelayanan yang membangun kapasitas mereka. Komisi Lintas SARA GKJ Dagen-Palur telah masuk dalam “PEACE BUILDING DIRECTORY INDONESIA”, den memiliki jaringan dengan lembaga-lembaga sejenis di tingkat nasional dan internasional. Komisi Hubungan Nasional dan Internasional GKJ Dagen-Palur, INSEDCOT, Yayasan Pralenen Sana Kawekas, Komisi Pendidikan & Beasiswa, Koperasi Anugrah maupun Pelita Buana Artha adalah alat gereja untuk melayani umat manusia dan menerjemahkan Injil ke dalam bahasa umum.
Pelayanan GKJ Dagen-Palur juga harus melihat konteks sosiologis dan geogtrafisnya, supaya pelayanannya memiliki pegangan sosial-ekonomi dan kebudayaan setempat. Memanfaatkan tehnologi informasi, kita dapat menggunakannya untuk pemetaan wilayah tersebut, sehingga kita bisa menentukan bidang penatalayanan yang dibutuhkan masyrakat.
Kursus-kursus
Gereja, Lembaga Pelayanan Kristen, Universitas Kristen bahkan Sekolah Tinggi Teologia jangan hanya menyediakan kursus-kursus konvensional tentang studi Alkitab, tetapi juga studi keduniaan yang rohani, terutama yang menyangkut masalah perlindungan atau pelanggaran HAM. Oleh sebab itu pendeta atau pengkhotbah dapat ditolong ketika berkhotbah, yaitu Alkitab di tangan yang satu dan buku ilmu pengetahuan di tangan yang lain. Mengapa ? Sebab Allah berbicara juga kepada kita, bukan saja melalui Alkitab, tetapi juga melalui ciptaanNya. Lembaga pelayanan Kristen dapat mengambil inisiatif untuk memperbaiki mutu khotbah-khotbah digereja, yang pada akhirnya berdampak pada mutu pelayanan yang lebih kualitatif. Gereja tidak perlu membentuk Front Pembela Kristen, karena kita justru harus melihat masalah keagamaan dari berbagai perspektif (kedokteran, hukum, sosial, ekonomi, budaya) sehingga agama menjadi sempurna dan lengkap.

Penutup
Gereja harus membuka diri terhadap perkembangan zaman dan kehidupan manusia yang semakin kompleks. Gereja harus membangun pelayanan yang komprehensif, yang melayani manusia multi dimensional (tubuh, jiwa dan roh) serta multi sektoral (ekonomi, sosial, ekonomi, kultural,hukum, politik).
Inilah yang kita sebut SPIRITUALITAS INKARNASI bukan SPIRITUALITAS MENARA GADING. Spiritualitas inkarnasi, artinya Allah sendiri yang Maha Suci dan Mulia, turun ke kubangan dunia, ke tempat orang kusta, pelacuran, kenajisan, dan membawa mereka kembali kepada Allah. Spiritualitas Menara Gading, justru sebaliknya, menarik diri dan membentengi diri serta tidak menerjunkan diri dalam persoalan-persoalan real manusiadan eksklusif.

Menjadi gereja sejati adalah menjadi GEREJA KRISTUS YANG INKARNASI.