Selasa, 18 November 2008

Perjamuan Kudus Anak

PERJAMUAN KUDUS BAGI WARGA BAPTIS ANAK

(Membangun Perjalanan Rohani Dan Pengalaman Spiritualitas Anak-anak,Perspektif Praktisi)

Kapan GKJ Dagen-Palur Memulainya?

Pada Perjamuan Kudus Pentakosta 2002
GKJ Dagen-palur pernah mempunyai pengalaman mengadakan perjamuan Kudus dengan model tumpengan dan memperkenankan semua warga jemaat yang telah dipabtis ambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Pengalaman GKJ Dagen-Palur tersebut mendapat perhatian dari GKJ di lingkup Klasis dan Sinode, bahkan menjadi pokok pembahasan, yang pada akhirnya Sinode memutuskan memperkenankan Perjamuan Kudus pada kanak-kanak bagi GKJ yang sudah menyiapkan diri.

Deklarasi Anti Diskriminasi & HAM PBB
Perayaan tersebut juga dimaksudkan untuk menunjukkan komitmen gereja pada perjuangan kemanusiaan yang anti diskriminasi di semua sektor kehidupan manusia dan perlakuan manusia atau institusi sosial, politik, maupun kultural terhadap umat manusia. Pergululan historis ini manjadi akar untuk membangkitkan gereja menggugat segala warisan “rohani” dari para pendahulunya, termasuk warisan Perjamuan Kudus dan sistem di sekitarnya. Hal ini ditempatkan sebagai konteks interpretatif, yang tidak pernah lepas dari kepentingan ideologis-politis, sosial, budaya, gender, dan patriarkalisme yang hidup pada masa perumusan doktrin tersebut.

Hadir dalam konteks kontemporer, maka gereja juga harus melakukan reinterpretasi dan rekontekstualisasi sehingga dapat melakukan reaktualisasi secara eksistensial, sebagai umat yang menjawab pekerjaan Tuhannya. Perjamuan Kudus bagi warga baptis anak, juga adalah proses pendidikan iman yang memiliki kepentingan politik gereja, sosial maupun budaya untuk menciptakan persekutuan komunitas religius yang berbeda secara kualitatif dengan komunitas sebelumnya.

Ratifikasi UU Kesejahteraan dan Perlindungan Anak/ HAM Anak
Perjamuan Kudus bagi anak-anak juga harus kita tempatkan dalam konteks mempromosikan tentang hak-hak religius mereka. Memahami HAM (Hak-hak Azasi Manusia) harus di lihat dari nilai intrinsik dualitas HAM, yaitu HAM sebagai Anugerah Allah dan HAM sebagai Perjuangan/ Proyek Historis manusia.

Ketika kita berbicara tentang HAM, maka kita akan menemukan nilai/ intrinsik dualitas di dalamnya. Di sisi satu, kita percaya bahwa HAM adalah anugerah penciptaan (Kej 1:26,27). Yang dimaksud dengan anugerah (given) adalah nilai yang melekat dalam hidup manusia ketika ia diciptakan/ lahir. Sebagai anugerah/ kodrat (given) dalam penciptaan, maka presuposisi teologis ini mendorong kita untuk mengakui semua manusia, baik Kristen atau Islam, hitam atau putih, Yahudi atau Arab, cacad atau normal, laki-laki atau perempuan, orang tua atau bayi, dsb. adalah sama mulia, berharga, bermartabat, dst Dari sudut pandang ini maka tidak ada satu pihak/ otoritas manapun, baik dalam bentuk lembaga keluarga, gereja, masyarakat, adat atau bahkan negara yang dapat mengklaim sebagai sumber legitimasi HAM dan juga sebaliknya ada yang dapat mengambil/ merampasnya dari manusia. Nilai intrinsik dalam penciptaan adalah HAM melekat dalam penciptaan itu sendiri.

Dari perspektif ini, HAM adalah sebuah konsep egalitarian yang radikal, bahwa semua umat manusia memilikinya dan ini melampaui batas-batas geografis, agama, ras, suku, jenis kelamin, usia, dsb. serta tidak dapat dihapus atau dicabut oleh siapapun dengan cara apapun. Dari konsep ini seharusnya tidak ada pelarangan jenis kelamin, agama, rasial, dan diskriminasi lainnya untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh menjadi presiden, imam, pendeta, ulama, dosen, dsb. Mengapa? Karena nilai HAM adalah intrinsik (nilai yang dibawa/ dimiliki secara natural) dalam diri manusia. Tidak ada satu pihak/ otoritas pun (termasuk agama) yang boleh mengklaim sebagai pemberi atau pelenyap HAM tersebut.

Ketika kita berbicara bahwa bukan orang lain, keluarga, gereja, masyarakat atau negara sebagai sumber/ dasar legitimasi HAM, juga harus kita akui bawa mereka memiliki kekuasaan (power) untuk memperkuat atau melenyapkan HAM. Maka nilai intrinsik dualitas HAM yang lain, selain anugerah (given) adalah bahwa HAM merupakan perjuangan sejarah (historical struggle). Karena ia menjadi perjuangan sejarah, maka HAM juga merupakan sebuah proyek sejarah (historical project). Individu, keluarga, Gereja, agama, LSM, Adat, dan negara, PBB, dsb. memiliki kekuatan dan kuasa untuk memperjuangkan, menegakkan, meningkatkan, dan menjaga HAM supaya nilai intrinsik pertama HAM sebagai anugerah (given) dapat berlaku. Namun di sisi lainnya lembaga-lembaga tersebut juga dapat melenyapkan HAM, merampasnya serta menginjak-injaknya, yang menyebabkan nilai intrinsik HAM sebagai anugerah (given) tidak berjalan/ berlaku. Itulah sebabnya HAM harus terus-menerus diperjuangkan pada level yang berbeda-beda, yaitu dari wacana sampai pada legal-politis.

Kita tidak bisa berhenti pada pengakuan bahwa HAM itu anugerah Tuhan dalam penciptaan, tetapi sekaligus juga harus memperjuangkannya supaya terwujud. Kita percaya bahwa perjuangan melawan penindasan, dominasi, kekerasan, dsb. adalah perlu dan bermakna serta dapat dibenarkan. Oleh sebab itu HAM bukan hanya sebagai sikap pasrah menerima kodrat/ anugerah tetapi juga menjadi perjuangan dan proyek sejarah (historical struggle and project).

Ketika kita berjuang, termasuk melawan tradisi dan doktrin gereja/ agama, adat, negara, dsb. yang melenyapkan HAM, norma manakah yang harus kita utamakan? Apakah kita berpihak pada perjuangan agama kita, karena sekedar pertimbangan bahwa itu adalah agama dan kepercayaan kita? Jika tidak, mengapa kita tidak terlibat? Dalam memperjuangkan HAM sebagai nilai intrinsik perjuangan/ proyek sejarah, kita harus memiliki norma untuk kita tegakkan. Jawabnya adalah jelas, yaitu nilai intrinsik HAM itulah yang menjadi norma utama (Prima Norma), yaitu kemanusiaan yang segambar dengan Pencipta, yang melampaui batas-batas agama, ras, suku, bangsa dan jenis kelamin. Prima norma ini harus berjalan supaya perjuangan menegakkan HAM tidak berjalan sebaliknya tetapi menuju pada nilai intrinsic HAM sejati.

Prima norma HAM ini harus menjadi dasar bagi Gereja untuk melawan dan berjuang atas segala bentuk penindasan, dominasi, kekerasan terhadap manusia yang dilegetimasi oleh agama, ras, suku, bangsa atau seksual. Perjuangan/ proyek historis HAM adalah sebuah proses untuk merevisi, mereinterpretasi serta merekontekstualisasi segala doktrin, kepercayaan maupun perilaku manusia yang hanya menghancurkan/ melenyapkan prima norma HAM.


Kapan Dan Bagaimana Mulai Permanen Diberlakukan ?

Perjamuan Kudus Pra-Paskah 2006 (pasca Sinode non-reguler), 5 Maret 2006 mulai dilaksanakan permanen dan berlanjut dengan Perjamuan Kudus Jumata Agung sampai saat ini.

Secara kategorial dimulai pada pra TK, atau kelas katekisasi A, yaitu kategori di bawah TK, Kelas Katekisasi B (kategori Kelas 1 – 3 SD), kelas Katekisasi C (kategori kelas 4-6 SD), Kelas Katekisasi D (kategori SMP) dan Kelas Katekisasi E (kategori SMA dan pemuda) serta warga dewasa diperkenankan ambil bagian dalam Perjamuan Kudus tersebut, supaya sejak dini mereka dapat mengalami pengalaman-pengalaman keagamaan bersama Allah, melalui sistem kepercayaan umat-Nya.

3 model pelaksanaan, yaitu pertama, integrasi pada kebaktian umum, seperti di gereja Jago, Karanganyar dan Dagen. Mereka mulai di kelas masing-masing, dan pada saat pelaksanaan Perjamuan Kudus mereka masuk ke gereja untuk menerima pelayanan sakramen tersebut. Model Kedua adalah terpisah; yaitu Pelayanan Perjamuan Kudus yang khusus untuk anak & remaja, dilakukan di gereja Perumnas, mengingat jam kebaktian 6.30 terlalu pagi, dan kelas katekisasi dari semua kelas dimulai jam 09.00 WIB. Model ketiga dilakukan bersamaan dengan kebaktian warga dewasa, yaitu di Perumnas pukul 06.30 dan 18.00, mengingat anak-anak yang hadir tidak banyak.


Apa Pertimbangannya?

Latar belakang Perjamuan Kudus dalam tradisi Kristen (gereja purba) adalah Perjamuan malam/ paskah (Ibrani: pesha). Anak-anak sulung orang Mesir akan mati, tetapi anak-anak sulung bangsa Israel akan selamat (Keluaran 12: 29-42) karena ada tanda darah domba di depan rumah mereka. Allah memerintahkan supaya selalu diadakan perayaan paskah, yaitu umat mengorbankan, setiap keluarga seekor anak domba. Peraturan Paskah ini dapat dibaca pada Keluaran 12ff

Perjamuan malam dilakukan di rumah tangga, dan dilayani oleh kepala rumah tangga sambil terus menerus mengajarkan karya penyelamatan Allah atas bangsa Israel (bnd Ul 6). Perayaan ini dilakukan selama tujuh hari berturut-turut dan memakan roti yang tidak beragi (Keluaran 12: 15).

Warisan lisan ini sebagai sebuah metode pengajaran agama supaya setiap generasi selalu memegang teguh atas “kredo historis” (pengakuan iman) bahwa Allah sendirilah yang telah menyelamatkan mereka. Perjamuan malam dilakukan di rumah tangga, dan dilayani oleh kepala rumah tangga sambil terus menerus mengajarkan karya penyelamatan Allah atas bangsa Israel (bnd Ul 6). Perayaan ini dilakukan selama tujuh hari berturut-turut dan memakan roti yang tidak beragi (Keluaran 12: 15).


Sejarah berlanjut, yaitu Pada jaman Gereja Purba, sebelum terjadi schisma ke-1 (kira-kira abad ke-10 dan 11) antara Orthodox Timur (pusatnya di Yunani) dan Barat (Pusatnya di Roma atau Katolik Roma), Perjamuan Kudus pada anak-anak biasa dilakukan dan menjadi tradisi keagamaan yang umum dilakukan mereka.

Setelah perpecahan tersebut, Gereja Katolik Roma tidak memberlakukan, sedangkan Gereja Orthodoks Timur meneruskan tradisi Gereja Purba. Sampai saat ini Gereja Orthodoks Timur tetap menyelenggarakan perjamuan kudus pada anak-anak Namun setelah schisma ke-1 tersebut, gereja orthodoks Barat (Roma Katolik) melarang Perjamuan Kudus pada kanak-kanak karena dasar teologisnya adalah “Transubtansiasi” (roti dan anggur bukan simbol tetapi realitas tubuh dan darah Kristus) bahwa Perjamuan Kudus adalah cara menyelamatkan jiwa. Anak-anak yang tidak atau belum mampu mengerti dan mengambil tanggungjawab iman secara penuh, belum boleh ikut perjamuan kudus, kecuali keadaan darurat/ yaitu ketika anak sedang menghadapi sakratul maut.

Calvin memahami bahwa Perjamuan Kudus hanya sebagai simbol/ lambang dan bukan realitas ilahi (baca: realitas tubuh dan darah Yesus), dan tidak mempunyai daya menyelamatkan; sebaliknya hanya dengan anugerah (sola gratia). Sekalipun bukan sebagai realitas dan hanya simbol tetapi bukan simbol kosong, dengan Perjamuan Kudus Tuhan sungguh hadir kembali (represent)- transendensiasi. Inilah yang terus menyatukan kita dengan Kristus (1 Kor 10:16,17). Sekalipun presuposisi teologisnya berbeda dengan Katolik Roma,namun secara praktis tetap mengikuti tradisi Katolik Roma, yaitu tidak memberlakukan Perjamuan Kudus pada anak-anak.


Bagaimana Kita Harus Melakukan Reinterpretasi?

Mulai dari pandangan Calvin tentang Baptisan anak ( Paedobaptism), yang secara jujur Calvin mengakuinya bahwa ia tidak dapat menghindarinya. Tradisi doktrinal dan praktek perjamuan kudus dari gereja Katolik Roma diterima sebagai kenyataan historis yang memang tidak bisa dihindari.

Menurut Calvin, baptisan anak bukan perintah Allah, tetapi hanya presuposisi telogis manusia dan diterima dalam prakteknya. Baptis anak sebagai tanda janji spiritual, sama seperti sunat (Ef 2: 11), ia dimaterai dan diadopsi masuk ke dalam sebuah komunitas keagamaan. Baptis dan sunat sama, yaitu sebagai tanda yang menghubungkan.

Mat 19: 13ff bukan legitimasi teologis anak-anak harus dibaptis, tetapi Kristus meminta murid-murid-Nya supaya anugerah dan berkat diperluas kepada anak-anak dan tidak dibatasi pada orang tua saja.

Perjamuan Kudus pada anak-anak adalah terutama merupakan perjalanan rohani anak-anak untuk menerima berkat dan anugerah, “karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” ( anak-anak diikutsertakan dalam setiap pergaulan dan pengalaman dengan Kerajaan Allah).

Tidak boleh ada pihak termasuk gereja menghalang-halangi hak mereka untuk bersekutu dan menerima berkat serta anugerah dari Kristus, serta persekutuan dengan tubuh dan darah Kristus (I Kor 10: 16,17).

Anak-anak harus menerima benefit dan perlindungan dari doa dan pengalaman keagamaan orangtua mereka, termasuk komunitasnya.


Orthodoxia menuju Orthopraxia

Kategori dogmatis menuju kategori etis
Yang jauh lebih penting bagi anak-anak dalam fase pertumbuhan imannya bukanlah seberapa besar pemahaman mereka atas rumusan-rumusan dogmatisnya, melaikan secara operasional dapat mengubah dan menginternalisasi nilai-nilai sakramental Kristus melalui Perjamuan Kudus yang mereka alami. Ini menjadi tugas warga dewasa untuk menerjemahkan nilai-nilai sakramental tersebut menjadi sesuatu yang operasional, dan bukan terutama tugas anak-anak untuk memahami secara sistematis rumusan-rumusan dogmatis tersebut. Kita mulai menerjemahkan tindakan pengorbanan Kristus dengan membagikan celengan kepada anak-anak supaya mereka rela berkorban berbagi kebahagiaannya kepada anak-anak yang tidak mampu. Uang tersebut dipersembahkan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu.

Output dari Perjamuan Kudus bagi anak-anak, terutama bukanlah pemahaman yang lengkap dari anak-anak tentang rumusan sistematis dogma Perjamuan Kudus, tetapi lebih penting adalah perobahan perilaku anak yang secara operasional dapat mengikuti pengorbanan Kristus. Rumusan sistematis yang filosofis-teologis menuju praktek iman yang operasional dalam kehidupan sehari-hari mereka. Nilai perjamuan kudus menjadi hidup dalam kehidupan anak-anak.

Tindakan Yesus adalah tindakan yang sakramental, bukan perjamuan kudus an sich.
Perjamuan Kudus hanya sebuah simbol dari tindakan sakaramental Yesus Kristus. Mungkin saja ada simbol-simbol lain yang dapat digunakan dalam tradisi-tradisi lokal yang dapat dipakai untuk mensimbolisasi tindakan sakramental Yesus Kristus. Oleh sebab itu, energi jangan terlalu dihabiskan untuk mengerjakan simbol tersebut, tetapi lebih kepada mempraktekkan nilai-nilai yang ada dalam simbol tersebut. Fokus utama kita haruslah tindakan sakramental Kristus yang harus dipahami dan dipraktekkan oleh seluruh orang percaya, bukan pada simbolisme dan ritualisme yang kering dan hampa. Yang suci dan tanpa dosa bukan perjamuan Kudusnya itu sendiri, tetapi tindakan sakramental Yesus Kristus itu sendiri yang digambarkan dalam Perjamuan Kudus. Oleh sebab itu anak-anak justru diajak masuk ke dalam Perjamuan Kudus tersebut supaya sejak dini mereka dapat mengenal dan menghampiri Yang Suci, Sang Sakral, yang berkorban – Yesus Kristus. Dari ritual-kultural menuju nilai kehidupan.